Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kesepakatan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia senilai US$ 20 miliar dinilai akan berperan penting dalam mendanai transisi energi Indonesia serta mencapai emisi nol bersih.
Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Indonesia harus membatasi emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 290 MT pada tahun 2030 sebagaimana tertuang dalam laporan IEA terkini, yang selaras dengan target pemerintah untuk mencapai net zero di semua sektor pada tahun 2060
Namun, EMBER, sebuah badan think tank energi global menemukan celah bahwa Kesepakatan JETP tetap memungkinkan pembangunan PLTU yang sudah dalam tahap konstruksi untuk diselesaikan, sehingga kapasitas PLTU akan tetap meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Selain itu, pembatasan emisi pada sektor ketenagalistrikan belum selaras dengan target iklim global 1,5 celcius.
Baca Juga: Pasar Ramai Sentimen, Simak Proyeksi Harga Komoditas Energi Tahun Ini
Kesepakatan JETP juga tidak mensyaratkan pembatasan spesifik untuk PLTU captive. Indonesia hanya membatasi pengembangan PLTU captive sesuai dengan Peraturan Presiden 112/2022. Namun dengan Perpres itu, pemerintah tetap memperbolehkan pembangunan PLTU captive, asalkan terintegrasi dengan industri atau Proyek Strategis Nasional.
Saat ini, terdapat PLTU captive berkapasitas 5 GW yang beroperasi di Indonesia pada tahun 2021, dan 4 GW lagi dalam tahap konstruksi. Mini briefing EMBER menemukan bahwa PLTU captive tidak termasuk dalam batasan 290 Mt dan juga tidak dibatasi secara spesifik dalam kesepakatan JETP.
Artinya, Indonesia tidak diwajibkan untuk menghentikan PLTU yang sedang dibangun, baik di sektor ketenagalistrikan maupun pembangkit captive. Dengan kata lain, JETP tetap membuka celah untuk berkembangnya sumber energi dengan emisi tertinggi, batu bara, dalam beberapa tahun ke depan.
Sejatinya untuk menempatkan Indonesia pada jalur iklim 1,5 celcius, produksi PLTU harus dikurangi secara substansial pada tahun 2030 dengan menutup beberapa PLTU yang beroperasi, mengurangi produksi listrik pada PLTU secara signifikan, atau keduanya. Jumlah PLTU harus dikurangi hingga 10% dan produksi listrik dari PLTU perlu diturunkan sebesar 70%, dibandingkan skenario JETP, pada tahun 2030.
Baca Juga: Kementerian ESDM Mulai Berlakukan Tingkat Emisi GRK PLTU Tahun Ini
Selain itu, porsi energi terbarukan perlu ditingkatkan secara signifikan untuk menggantikan batu bara. Menurut IEA, pangsa energi terbarukan harus mencapai sekitar 60% dari total pembangkitan pada tahun 2030, lebih tinggi dari persyaratan JETP dan skenario IEA berdasarkan “komitmen pemerintah” yang hanya menargetkan 35%.
Achmed Shahram Edianto, Analis Ketenagalistrikan Asia dari Ember, mengatakan kesepakatan JETP perlu dirinci lebih lanjut untuk memberikan beberapa pilihan bagi Indonesia.
“Kesepakatan ini juga harus menyediakan opsi untuk pemensiunan dini PLTU dan penurunan faktor kapasitas operasional PLTU,” jelasnya dalam keterangan resmi.
Baca Juga: RUU EBET, Pelaku Usaha Panas Bumi Harapkan Pemerintah Fasilitasi Skema Power Wheeling
Achmed juga melihat, perlu adanya target untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan. Ini untuk memperlihatkan bahwa dukungan internasional berperan penting dalam mendorong Indonesia ke jalur transisi yang sesuai target iklim 1,5 celcius.
Dengan JETP, Indonesia perlu memanfaatkan momentum dan dukungan finansial ini untuk mendukung rekonfigurasi ulang jalur transisi energi agar selaras dengan target iklim 1.5 celcius.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News