Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga non-profit lingkungan global, CDP, dalam kajian terbaru memaparkan potensi dampak finansial yang muncul dari risiko terkait hutan khususnya pada perusahaan yang berhubungan dengan rantai pasok minyak sawit mencapai US$ 10 miliar pada 2020.
CDP dalam paparannya menjelaskan, perusahaan perlu menggabungkan antara penentuan target yang jelas dan pelaksanaan secara kolaboratif di lapangan demi memitigasi risiko finansial tersebut termasuk demi meraih peluang finansial dalam rantai pasok yang bebas deforestasi.
Adapun, temuan ini merupakan analisis data yang terkumpul dan dilaporkan sendiri secara sukarela oleh 125 perusahaan yang memproduksi, membeli, atau menggunakan minyak sawit dari Indonesia, dari total 687 perusahaan yang mengisi kuesioner Hutan CDP tahun 2020.
Baca Juga: Perusahaan Korea Selatan dituding bakar hutan Papua, ini jawaban KLHK
"Sebagian besar perusahaan tersebut (78%) mengidentifikasi sekurangnya satu risiko terkait hutan yang dapat memiliki dampak finansial atau strategis mendasar bagi usaha yang mereka jalankan," dikutip dari keterangan resmi CDP, Jumat (27/10).
CDP dalam webinar yang diselenggarakan bersama Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) menekankan pentingnya kerja sama yang erat antara perusahaan dan pemerintah kabupaten untuk mencapai sasaran-sasaran keberlanjutan bersama.
CDP bahkan menyebut potensi dampak finansial bisa melebih US$ 10 miliar pasalnya tidak sampai setengah dari perusahaan-perusahaan tersebut yang telah mengungkapkan informasi finansial.
"Namun biaya rata-rata untuk menanggapi mitigasi hanyalah 3% dari biaya yang berkemungkinan timbul dari risiko terkait. Selain itu, risiko-risiko yang ada dapat berubah menjadi peluang," tulis CDP.
Terkait potensi konversi risiko menjadi peluang, dari 27% perusahaan yang memberikan informasi perkiraan keuangan, nilai peluang terkait hutan mencapai US$ 4,2 miliar, di mana besar kemungkinan tercapainya US$ 1,3 miliar dari nilai tersebut.
Pihak CDP mengungkapkan, pentingnya keberlanjutan dalam memberikan tingkat keyakinan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak mengambil produk minyak sawit dari kawasan-kawasan berisiko tinggi, sehingga hal ini menjadi suatu prasyarat bagi banyak kebijakan perusahaan tentang pembelian produk/bahan.
"Ada peningkatan jumlah perusahaan yang dapat melacak pasokannya hingga tingkat perkebunan, yakni dari 10% pada tahun 2018 menjadi 19% pada tahun 2020," terang CDP dalam paparannya.
Perusahaan-perusahaan tersebut menetapkan target yang ambisius dan menjadikannya panduan untuk mencapai ketertelusuran yang lebih baik. Sayangnya, perusahaan yang menargetkan untuk melacak 100% pasokannya hingga tingkat perkebunan selambatnya tahun 2020 belum mencapai sasaran ini.
Untuk menjembatani celah tersebut, CDP menjelaskan, perusahaan perlu mempertimbangkan tindakan semua pemangku kepentingan yang ada dalam rantai pasok minyak sawit. Saat ini, 26% perusahaan yang mengambil produk minyak sawit dari Indonesia tercatat tidak melibatkan pemasok langsung mereka dalam mengasah kemampuan memasok minyak sawit lestari, sementara 42% belum melibatkan petani untuk meningkatkan keberlanjutan pasokan.
Baca Juga: Bukan pertama kali, perusahaan Korea Selatan dituding bakar hutan Papua
Adapun, sekitar 39% perusahaan-perusahaan yang mencoba menghilangkan deforestasi dari rantai nilainya selalu menginformasikan adanya kerumitan yang melekat dalam rantai pasok minyak sawit, di mana hal ini dianggap sebagai tantangan serius.
CDP memaparkan dua upaya pendekatan yakni pendekatan yurisdiksional dan pendekatan restorasi.
Pendekatan yurisdiksional dinilai sebagai perangkat yang menjanjikan dalam menyelesaikan tantangan tersebut karena bentuk pendekatan lanskap ini menyatukan semua pihak/pelaku terkait yang ada dalam batas politis dan administratif untuk membangun sasaran, menyelaraskan kegiatan, dan melakukan pemantauan dan verifikasi secara bersama-sama.
Partisipasi pemerintah secara yurisdiksional diklaim dapat mengurangi risiko karena perusahaan cenderung mengikuti persyaratan peraturan yang akan diberlakukan.
Pendekatan ini kendati tergolong baru namun diklaim telah menunjukkan indikasi positif tercermin dari petani yang menggunakan inisiatif ini bersamaan dengan perangkat sertifikasi untuk meningkatkan keberlanjutan dalam pasokannya.
Sebanyak 8% dari perusahaan tersebut telah terlibat secara spesifik dalam bentuk Pendekatan Yurisdiksional, terutama melalui Pendekatan Yurisdiksional RSPO untuk Sertifikasi dan Produksi, Konservasi dan Pelibatan (Produce, Conserve and Include atau PCI).
"Kolaborasi yang demikian ini memiliki potensi sangat besar dalam menyatukan upaya-upaya lintas sektoral dalam rangka mengatasi deforestasi dan mengukur praktik-praktik keberlanjutan di Indonesia," ujar pihak CDP.
Sementara itu, pendekatan restorasi seperti lahan cadangan dan agroforestri, yang kerap kali mampu mengembalikan fungsi alami ekosistem,l dinilai dapat meningkatkan keanekaragaman hayati serta meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan jasa-jasa ekosistem yang penting akan melengkapi upaya-upaya untuk menghentikan deforestasi.
Sebanyak 50% perusahaan yang memproduksi, mengambil, atau menggunakan produk minyak sawit dari Indonesia mendukung atau melaksanakan inisiatif-inisiatif yang berfokus pada restorasi dan/atau perlindungan ekosistem di beberapa bagian dari operasinya di seluruh dunia. Sementara, sebanyak 14% memberitahukan bahwa pihaknya melaksanakan atau mendukung 22 inisiatif secara spesifik di Indonesia di kawasan dengan luas total lebih dari 17,8 juta hektar.
Baca Juga: Greenpeace: 30% kebakaran lahan Indonesia terjadi di hutan industri dan kebun sawit
Morgan Gillespy, Direktur Global CDP untuk Bidang Kehutanan mengatakan cepatnya perusakan hutan tropis beserta komplikasi akibat-akibatnya adalah salah satu persoalan lingkungan yang paling urgen yang dihadapi saat ini.
"Akan tetapi kita tidak dapat merumuskan solusi yang efektif tanpa memahami sumber-sumber deforestasi dan pengukuran dampak yang jelas dan berbasis data. Pengungkapan informasi secara mandiri dan sukarela serta transparansi tidak hanya berperan sangat penting dalam perlindungan lingkungan, akan tetapi juga merupakan keharusan dalam dunia usaha bagi perusahaan-perusahaan yang hendak meningkatkan keunggulan kompetitifnya dan membangun ketahanan demi masa depan hutan yang positif," ujar Morgan.
Disisi lain, Pratima Divgi, Direktur CDP untuk Hong Kong, Asia Tenggara, Australia & Selandia Baru bilang perlu ada peningkatan kerja sama dan pendekatan yang inovatif serta pemangku kepentingan untuk mendapatkan rantai nilai minyak sawit lestari di Indonesia dan kawasan-kawasan lain.
"Melalui data dan wawasan yang kami miliki, CDP bertujuan tidak hanya memberdayakan investor, perusahaan, pemerintah kota, kabupaten/provinsi dan negara agar semakin memahami risiko deforestasi yang mereka hadapi, akan tetapi yang lebih penting adalah menyoroti upaya-upaya korektif untuk membangun ekonomi yang berkembang dan memberikan manfaat bagi manusia dan planet ini secara jangka panjang," jelas Pratima.
Adapun, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) Gita Syahrani menjelaskan kemitraan dengan CDP sebagai komitmen pihaknya untuk mendorong tindakan berbasis multipemangku dan kolektif.
"Upaya menjembatani pemangku kepentingan kunci dalam komoditas lestari (termasuk minyak sawit) pada tingkat daerah, nasional dan global dilakukan berdasarkan target dan kontribusi bersama yang telah disepakati, terang Gita.
Gita melanjutkan, kerja sama yang kuat antara pemangku kepentingan merupakan dasar bagi pelaporan perkembangan yang telah dicapai bersama beserta capaian keberlanjutan yurisdiksional, sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal/SDG) tingkat nasional.
Selanjutnya: Mulai ada tren, asing hanya ingin biayai korporasi yang ramah lingkungan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News