kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,40   8,81   0.99%
  • EMAS1.332.000 0,60%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebijakan DMO dan DPO Sawit Dikhawatirkan Bakal Tekan Harga TBS


Jumat, 28 Januari 2022 / 08:12 WIB
Kebijakan DMO dan DPO Sawit Dikhawatirkan Bakal Tekan Harga TBS


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Khawatir bisa tekan harga Tandan Buah Segar (TBS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) keberatan terhadap kebijakan kewajiban memasok ke dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), olein, dan minyak goreng. 

Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, kebijakan ini berpotensi menekan harga TBS di tingkat petani. Sebab dengan kebijakan ini pabrik kelapa sawit (PKS) akan menekan harga pembelian TBS ke petani.

“Kalau ingin mengobati satu penyakit, jangan dong membuat penyakit baru. Kebijakan ini kan hanya menyelamatkan konsumen minyak goreng saja, tapi sisi lain kami sebagai petani kelapa sawit dikorbankan,” kata Gulat dalam keterangannya, Kamis (27/1/2022).

Menurutnya, melambungnya harga CPO juga mengatrol harga TBS. Namun kenaikan harga TBS ini tidak serta merta menaikkan keuntungan petani secara signifikan. Sebab di saat yang sama, harga pupuk juga mengalami kenaikan yang luar biasa.

Baca Juga: Kemendag: Kebijakan DMO dan DPO untuk Memastikan Bahan Baku Minyak Goreng Stabil

Menurut perhitungan Gulat, sejak Januari 2021 hingga Januari 2022 harga pupuk mengalami kenaikan sekitar 185%. “Kami petani kelapa sawit jelas terbebani dengan biaya pembelian pupuk ini. Dan ini pemerintah tidak mendengar teriakan kami. Tapi begitu harga minyak goreng melonjak, pemerintah begitu responsif,” papar Gulat. 

Dalam kesempatan itu, Gulat meminta pemerintah agar membuat kebijakan yang menyatakan bahwa pembelian TBS harus mengacu kepada harga internasional (cif Rotterdam). Hal itu perlu dilakukan untuk melindungi petani.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, kenaikan harga minyak goreng berpotensi mendorong kenaikan inflasi. Namun, pemerintah juga harus jeli dalam membuat kebijakan di industri persawitan ini.

Sebab di industri persawitan ini, kata Tauhid, cukup rumit. Perlu diketahui, bahwa produsen kelapa sawit ini tidak hanya pengusaha saja, tapi juga petani yang jumlahnya mencapai jutaan.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), jumlah petani sawit di perkebunan rakyat (PR) pada 2019 diperkirakan mencapai 2,74 juta kepala keluarga (KK). Jumlah tersebut meningkat 2,5% dibanding tahun sebelumnya sebanyak 2,67 juta KK. 

Baca Juga: Per 1 Februari 2022, Harga Minyak Goreng Mulai Rp 11.500 Per Liter

“Kebijakan DMO dan DPO ini sangat berpotensi menekan harga TBS. Akibatnya, kesejahteraan petani akan menurun,” kata Tauhid.

Jika harga TBS petani jatuh di bawah harga keekonomian, dikhawatirkan para petani akan malas merawat kebun sawitnya. Selain itu para petani juga akan enggan memanen TBS-nya. “Jika itu terjadi, suplai TBS juga akan menjadi masalah,” katanya.

Tauhid juga mengatakan bahwa dengan kebijakan DMO ini harga minyak goreng ditetapkan dalam tiga kelompok yaitu minyak goreng curah dengan harga Rp 11.000 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp 14.000 per liter.

Penurunan harga ini menyebabkan terjadinya disparitas harga. “Ini membuka peluang untuk diselewengkan. Tata niaga di industri perkelapasawitan ini cukup komplek,” kata Tauhid.

Baca Juga: Pemerintah Siapkan BBM Baru dengan Oktan Tinggi, Bensa dari Kelapa Sawit

Tauhid menjelaskan, total produksi CPO dan palm kernel oil (PKO) sekitar 53 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 30 juta ton terserap di pasar ekspor. Dari total ekspor tersebut, sekitar 20% atau setara dengan 6 juta ton adalah untuk produk bahan baku minyak goreng. 

Sedangkan total konsumsi minyak goreng nasional hanya sekitar 5,6 juta ton. “Masalah utama bukan pada suplai CPO, tapi karena harga CPO yang naik. Dan kenaikan ini dibentuk oleh mekanisme pasar,” papar Tauhid. 

Karena itu, kebijakan DMO yang diberlakukan pemerintah dalam meredam melambungnya harga minyak goreng ini kurang tepat. Menurutnya, tak ada salahnya apabila pemerintah mengadopsi kebijakan yang ditempuh Malaysia dalam meredam harga minyak goreng. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×