Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan kebutuhan pendanaan untuk mengeksekusi transisi energi di Indonesia membutuhkan dana yang besar. Jika menggunakan skema Just Energy Transition Partnership (JETP), menurut hitung-hitungan IESR setidaknya porsi hibah yang diharapkan sebesar 10%-15% atau sebesar US$ 1,5 miliar hingga US$ 2 miliar.
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan pemerintah Indonesia berjuang untuk merealisasikan dana JETP senilai US$ 20 miliar yang sudah aman secara komitmen. Namun, pada implementasinya pemerintah harus meyakinkan pihak pendonor mencairkan dana tersebut.
“Dana sudah secure by commitment tetapi kan implementasinya harus berjuang meyakinkan karena pada dasarnya ini kan komersial,” jelasnya saat ditemui di acara The Just Energy Transition Partnership (JETP) Convening for Exchange and Learning di Ayana Midplaza, Selasa (27/6).
Baca Juga: Indonesia Dapat Dana Hibah Senilai Rp 2,4 Triliun dari Program JETP
Sebagai gambaran awal, Dadan mengungkapkan dari US$ 20 miliar tersebut sebanyak US$ 160 juta atau Rp 2,4 trilun (Kurs Rp 15.000/USD) merupakan dana hibah, lalu sekitar US$ 160 juta merupakan dana bantuan teknis (technical assistance/TA), dan US$ 10 miliar atau Rp 150 triliun merupakan pinjaman komersial. Namun dia belum bisa memaparkan berapa tepatnya besaran bunga dari pinjaman komersial.
Nantinya dana tersebut akan mendanai sejumlah proyek transisi energi di Tanah Air berupa pemensiunan pembangkit batubara (PLTU), Energi Baru Terbarukan (EBT), peningkatan efisiensi energi, elektrifikasi, dan transmisi. Seluruh program tersebut akan tertuang dalam Comprehensive Investment Plan (CIP) yang akan segera diumumkan Agustus 2023 mendatang.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menjelaskan transisi energi ini butuh biaya yang besar dan memerlukan bantuan hibah.
“Kalau hanya US$ 160 juta itu sangat tidak memadai, minimun komposisi dari dana IInternational Partners Group (IPG) 10%-15% dalam bentuk hibah karena menghitung kebutuhan beberapa komponen dalam proyek transisi energi. Untuk mencapai target 2030 dibutuhkan senilai US$ 1,5 miliar hingga US$ 2 miliar,” terangnya saat konferensi pers di acara yang sama.
Fabby menjelaskan, berdasarkan hasil kajian IESR kebutuhan pendanaan untuk transisi energi hingga 2050 jika ingin sesuai dengan target Perjanjian Paris, investasi yang harus digelontorkan Indonesia senilai US$ 1,3 triliun atau rata-rata US$ 30 miliar hingga US$ 40 miliar setiap setahun. Sedangkan, jika hanya sampai 2030 dibutuhkan paling tidak US$ 130 miliar.
Baca Juga: Menteri ESDM Buka Opsi Terminasi Kontrak IDD Jika Tak Ada Kejelasan hingga Juli
“Pendanaan ini dibutuhkan untuk tiga hal, yakni pemensiunan dini PLTU, energi baru terbarukan (EBT), dan proses transisi yang berkeadlian (Just Transition),” jelasnya.
Pendanaan untuk pemensiunan dini PLTU, tergantung pada kapasitasnya. Menurut Fabby, berdasarkan perhitungannya jika kurang dari 8 GW dipensiunkan dan beberapa PLTU dipensiunkan dini maka dibutuhkan dana US$ 4 miliar hingga US$ 5 miliar.
Menurut Fabby, dalam tahap persiapan pemensiunan pembangkit batubara membutuhkan hibah. Pasalnya, dana yang dibutuhkan cukup besar untuk memfasilitasi due diligence, merekrut konsultan finansial, menyiapkan proyek PLTU hingga siap melakukan pemensiunan dini.
“Masa PLN yang punya aset dia yang disuruh, kan harusnya ini bagian JETP, ini yang harus didanai,” ujarnya.
Dalam mengeksekusi pemensiunan PLTU, lanjut Fabby, pendanaan yang dibutuhkan harus bersifat concessional finance atau pinjaman lunak yang masuk dalam kategori Official Development Assistance (ODA) Loan.
Seiring pemensiunan pembangkit batubara, tentu Indonesia juga harus menggenjot pembangunan pembangkit energi baru terbarukan secepat mungkin. Jika berdasarkan target JETP di mana pemanfaatan energi terbarukan setidaknya 34% dari seluruh pembangkit listrik pada 2030, maka dibutuhkan 45 GW EBT.
“Dari 45 GW yang harus dibangun kalau dihitung dalam RUPTL ada 21 GW EBT, maka perlu tambahan 24 GW EBT lagi yang dibangun. Kalau mau bangun tentu tidak ujug-ujug dibangun, harus diidentifikasi sumbernya, mengembangkan proyeknya, melakukan feasibility studies, hingga dapat pendanaan, dan masuk RUPTL,” ujarnya.
Baca Juga: Ini Dampak RUU EBT Terhadap Emiten Energi Baru Terbarukan
Tentu untuk menyiapkan proyek skala jumbo tersebut, Indonesia membutuhkan hibah.
Di sisi lain, pemerintah juga harus melaksanakan transisi energi yang berkeadlian (just transition) mengingat banyak aspek yang akan terdampak.
Fabby menjelaskan lebih lanjut, jika nanti dana hibah dari skema JETP terasa terlalu kecil, Indonesia dan International Partners Group (IPG) dapat bernegosiasi setelah Comprehensive Investment Plan (CIP) rampung.
“Jadi CIP menjadi basis untuk negosiasi, di sana ada kompenen berapa NRE yang dibangun, berapa pemensiunan PLTU, berapa infrastruktur yang dibangun, dan berapa dana yang dibutuhkan untuk program just transition,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News