Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Industri pengolahan kakao berperan penting dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu Pemerintah terus berusaha meningkatkan produksi kakao dalam negeri.
Apalagi pemerintah telah menetapkan industri pengolahan kakao sebagai salah satu sektor yang diprioritaskan pengembangannya sesuai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035. Salah satu langkah yang mau diambil Kementerian Perindusterian (Kemenperin) yakni memudahkan impor kakao agar dapat meningkatkan utilisasi produksi biji kakao.
Baca Juga: Menperin: Kita ingin nol-kan tarif PPN kakao
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto telah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk membebaskan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) importasi biji kakao. Hal ini guna memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pengolahan kakao sekaligus memacu produktivitas dan daya saingnya.
“Kita ingin nol kan PPN kakao, selain kapas dan log kayu. PPN tidak dihapus, tetapi tarifnya nol. Ini diharapkan bisa mendorong daya saing industri, karena di dalam era free trade ini dengan negara-negara ASEAN sudah nol tarifnya,” jelasnya, Selasa (17/9).
Hal ini agar membuat daya saing industry kakao bisa bersaing dengan negara lain. Sisi lain agar produksi dalam negeri bisa lebih ditingkatkan untuk orientasi ekspor.
Salah satu upaya yang juga perlu dilakukan adalah kerja sama perdagangan bilateral dengan sejumlah negara potensial, seperti Ghana. “Ini juga akan membantu sektor industri kita, sehingga dari Ghana pun bisa nol juga tarifnya. Kami akan terus koordinasikan dengan Kementerian Perdagangan,” imbuhnya.
Baca Juga: Industri pengolahan kakao sumbang devisa hingga US$ 1,13 miliar
Airlangga optimistis, jika dilakukan upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, diharapkan ke depannya utilisasi produksi industri pengolahan kakao dapat ditingkatkan sampai dengan 80% dengan potensi nilai ekspor menembus US$ 1,38 miliar.
Lebih lanjut, industri pengolahan kakao dinilai masih bakal terus tumbuh dan berkembang, karena produknya telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat saat ini. “Contohnya seperti kopi, bisa juga didorong kafe khusus cokelat. Oleh karena itu harus terus kita dorong sektornya. Sebab, Indonesia punya potensi yang sangat besar,” ungkap Airlangga.
“Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama antara pemerintah, industri dan petani untuk meningkatkan produksi kakao di dalam negeri,” ujarnya. Guna menjaga ketersediaan bahan baku, pemerintah bersama stakeholder dapat memfokuskan diri untuk meningkatkan produktivitas budidaya kakao. Sedangkan, di sektor industri, diharapkan dapat menjalin kemitraan dengan petani dalam menjaga kontinuitas pasokan bahan baku biji kakao.
“Selain itu, kami memacu pada konsumsi kakao bagi masyarakat Indonesia. Salah satu upayanya adalah melalui edukasi di sekolah dan promosi yang dilaksanakan di dalam maupun luar negeri serta gerakan peringatan Hari Kakao Indonesia,” tandasnya.
Baca Juga: Duit IPO Tandas, Wahana Interfood Nusantara (COCO) Menimbang Pendanaan Baru
Menperin menegaskan, pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao nasional diarahkan untuk menghasilkan bubuk cokelat atau kakao, lemak cokelat atau kakao, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen, pangan fungsional berbasis kakao, serta kosmetik dan farmasi.
Saat ini, Indonesia merupakan negara pengolah produk kakao olahan ke-3 dunia setelah Belanda dan Pantai Gading. “Sekarang industri pengolahan kakao kita telah menghasilkan produk cocoa liquor, cocoa butter, cocoa cake dan cocoa powder,” sebutnya.
Pada tahun 2018, produk-produk tersebut mayoritas (85%) diekspor sebanyak 328.329 ton dengan menyumbang devisa hingga USD1,13 miliar, sedangkan produk kakao olahan yang dipasarkan di dalam negeri sebesar 58.341 ton (15%).
“Sebagai salah satu negara produsen biji kakao, Indonesia telah mempunyai 20 perusahaan industri pengolahan kakao. Kami terus mendorong peningkatkan utilisasinya, seiring juga memacu produktivitas biji kakao di dalam negeri untuk menjaga pasokan bahan bakunya,” papar Airlangga.
Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia menempati urutan ke-6 sebagai produsen biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Nigeria, dan Kamerun dengan volume produksi mencapai 220.000 ton sepanjang tahun 2018.
Baca Juga: Wahana Interfood (COCO) bidik target penjualan Rp 200 miliar
Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Arie Nauvel Iskandar menjelaskan Asosiasi sudah meminta sejak lama agar bisa Ppn ini turun dari yang PPn saat ini 10% menjadi turun 0%.
“Tentunya dengan hilangnya Ppn diharapkan membuat utilisasi industry pengolahan bisa naik dari saat ini,” kata Arie, Selasa (17/9).
Dari catatan KONTAN, Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) pernah menyebut ada beberapa sebab penurunan produksi kakao di Indonesia, diantaranya kebun kakao yang berumur tua atau lebih dari 30 tahun, serangan hama PBK dan VSD, program Gernas Kakao yang baru mencapai 26% dari total areal kakao nasional.
Selain itu banyak terjadi pula alih fungsi lahan kakao menjadi kebun sawit, serta fokus kementerian pertanian dalam dua tahun terakhir terjadi pada padi, jagung, dan kedelai.
Penurunan pasokan biji kakao mengakibatkan industri pengolahan kakao musti impor untuk memenuhi kebutuhannya. AIKI mencatat, di tahun 2018, kebutuhan pasokan biji kakao untuk industri sebesar 800.000 ton.
Baca Juga: Wahana Interfood Nusantara akan fokus ke pasar domestik
Adapun biji kakao dalam negeri hanya mampu memenuhi sebesar 210.887 ton saja. Sementara, sebesar 239.377 ton biji kakao masih diimpor. Secara total, biji kakao yang terpakai di Industri ini sebesar 450.000 ton, dengan demikian utilisasi industri pengolahan kakao baru mencapai 57%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News