Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
Padahal, proses penetapan sebagai WIUPK sudah berlangsung sejak tahun 2015 dan disetujui oleh Menteri ESDM pada 2017. "Daerah juga nggak menginformasikan. Kita anggap nggak ada masalah, sudah clear, makannya kita usulkan ke Menteri untuk ditetapkan (jadi WIUPK). Eh, ujungnya ada masalah," terang Wafid.
Dalam hal ini, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko berpendapat, kendala utama dalam lelang tambang ialah masalah kepastian hukum. Khususnya soal tumpang tindih wilayah yang membuat minat investasi menjadi terhambat.
Baca Juga: Kepastian hukum dan KDI yang mahal jadi kendala lelang Blok Tambang
Sukmandaru bilang, wilayah dan dokumen administrasi yang sudah Clean and Clear (CnC) menjadi tolok ukur bagi para investor untuk berinvestasi pada pengelolaan blok tambang.
"Harapan para investor tentunya saat mendapatkan wilayah tambang melalui lelang bisa langsung bekerja, bukan harus mengurus izin dan masalah tumpang tindih," kata Sukmandaru ke Kontan.co.id, beberapa waktu lalu.
Selain itu, Sukmandaru menilai Kompensasi Data Informasi (KDI) yang ada saat ini terlalu mahal, mengingat wilayah tambang yang ditawarkan baru pada tahap eksplorasi. "KDI belum reasonable, nilainya tinggi dan basisnya tidak jelas," ungkapnya.
Baca Juga: Lelang bermasalah, Kementerian ESDM tunda tender tambang nikel Latao
Padahal, Sukmandaru menekankan bahwa eksplorasi dan pembukaan area baru pertambangan sangat diperlukan. Ia bilang, eksplorasi diperlukan untuk menjaga neraca sumber daya dan cadangan yang saat ini terus berkurang lantaran produksi terus digenjot.
Di samping itu, eksplorasi ini bisa menggenjot investasi di sektor tambang minerba. "Ini akan menarik investor. Tapi saat ini eksplorasi berjalan lesu sehingga minim penemuan baru," kata Sukmandaru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News