Reporter: Mona Tobing | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kementerian Pertanian (Kemtan) akan mengembangkan pola integrasi untuk kakao. Cara ini dianggap lebih efektif ketimbang menambah luas lahan area kakao baru.
Ada dua cara yang dilakukan Kemtan yakni dengan program intercrop dan integrasi kakao dengan peternakan.
Program intercrop adalah menanam kakao dalam satu kawasan dengan menggandeng petani kelapa. Jika model intercrop ini berhasil ke depan program kakao tidak lagi pada peremajaan, tapi mengarah pada intercropping (tumpang sari).
Terobosan lain yang dilakukan mencontek model integrasi sapi sawit yang dianggap berhasil. Khusus kakao, program yang dilaksanakan adalah integrasi kakao kambing. Kota Palu telah menjadi uji coba untuk proyek percontohan.
Azwar Abu Bakar, Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar bercerita, jika berhasil maka Kemtan akan serius mengembangkan pola integrasi ini. Sebab, pola ini dianggap menguntungkan petani kakao dimana kambing mendapat pakan dari kulit kakao. Sementara limbah dari kambing bisa digunakan untuk pupuk tanaman kakao.
“Saat ini baru petani di Palu yang kami berikan kepada enam petani kakao dengan masing-masing 4 ekor kambing,” tutur Azwar pada Selasa (20/1).
Petani yang diberikan dengan syarat luas lahan kakao seluas satu hektar (ha) dengan produksi kakao mencapai 1 ton per ha. Pada tahun 2014 produksi kakao mencapai 680.000 ton naik dari 640.000 ton pada tahun 2013.
Di sisi lain, Kemtan berencana untuk mengembangkan kawasan cluster untuk kakao. Sebagai tahap awal akan ada luas area 2.000 ha sampai 3.000 yang diberikan kepada petani kakao di empat provinsi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Kawasan tersebut akan menjadi sentra produksi kakao dan pengelolaan kakao.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News