Reporter: Agung Hidayat | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Meski mengalami kenaikan penjualan, PT Ultra Jaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) harus membukukan penurunan bottomline sepanjang 2018. Produsen susu Ready To Drink (RTD) tersebut mengatakan terkena dampak dari fluktuasi kurs di tahun kemarin.
Mengulik laporan keuangan tahun 2018 kemarin, pendapatan bersih perseroan tumbuh 12,3% menjadi Rp 5,47 triliun, dimana pada tahun sebelumnya hanya Rp 4,87 triliun. Kenaikan revenue dibarengi kenaikan beban pokok penjualan sebanyak 15,4% dari Rp 3,04 triliun di 2017 menjadi Rp 3,51 triliun di tahun kemarin.
Meski demikian laba kotor tetap dapat bertumbuh 6,5% year on year (yoy) menjadi Rp 1,95 triliun di 2018. Namun terjadi pembengkakan di pos beban penjualan sebesar 24% dari Rp 689 miliar di 2017 menjadi Rp 855 miliar di 2018.
Alhasil laba bersih ULTJ di 2018 tergerus mini 2,3% menjadi Rp 701 miliar, dimana pada tahun sebelum bottomline perseroan tercatat Rp 718 miliar. General Manager Public Relations ULTJ, Muhammad Muthassawar atau yang biasa disapa Azwar menilai dari segi penjualan perseroan cukup agresif apalagi dengan peluncuran varian baru di akhir tahun lalu.
Khususnya untuk produk minuman memang menjadi faktor pendorong dan penyumbang terbesar bagi revenue ULTJ. "Pencapaian tahun lalu didukung oleh pertumbuhan Ultra Milk dan Teh Kotak, peluncuran varian baru kedua produk tersebut memicu excitement bagi konsumen indonesia sehingga brand image menguat," urai Azwar kepada Kontan.co.id, Kamis (4/4).
Berkaca pada annual report perusahaan, di 2018 segmen penjualan lokal untuk minuman (belum dikurangi Pajak Pertambahan Nilai) mengalami kenaikan 12,9% dari Rp 5,16 triliun di 2017 menjadi Rp 5,83 triliun di tahun kemarin. Sedangkan segmen penjualan lokal untuk produk makanan turun hingga 15,9% yoy menjadi Rp 153 miliar.
Pada produk susu RTD Ultra High Temperature (UHT) dengan brand Ultra Milk, perseroan mampu menjadi market leader dengan penguasaan pasar hingga 42% di tanah air. Sementara produk Teh Kotak, kata Azwar, menggenggam pangsa pasar nasional sebanyak 70% untuk kategori teh kemasan karton.
Besarnya penggunaan kemasan karton ini juga menjadi ongkos tersendiri bagi pembelian bahan baku perseroan. Azwar mengakui ada kenaikan di ongkos bahan baku yang turut mempengaruhi bottomline ULTJ.
"Terjadi kenaikan harga bahan baku karena kenaikan dolar AS," ungkapnya. Fluktuasi kurs yang terjadi di tahun 2018 kemarin tampaknya berefek pada harga kemasan karton produk ULTJ yang raw materialnya terdiri dari polyethylene dan aluminium.
Jika melihat laporan keuangan 2018 kembali, pada pos pembelian bahan baku tercatat suplier terbesar ULTJ ialah PT Tetra Pak Indonesia dengan pembelian sebanyak Rp 543 miliar, atau naik 20,9% dibandingkan tahun sebelumnya Rp 449 miliar. Mengutip laman resmi Tetra Pak, karton produksi perusahaan kemasan tersebut rata-rata berbahan baku 74% kertas karton, 22% polyethylene dan 4% aluminium.
Sebelumnya perusahaan mengatakan menargetkan pertumbuhan sekitar 12% di tahun 2019 ini, dan tampaknya target tersebut belum berubah. Apalagi tengah berancang-ancang membangun peternakan sapi lokal agar mengurangi ketergantungan terhadap susu impor.
Seperti yang diketahui perseroan telah merencanakan pengembangan proyek peternakan sapi perah milik PT Ultra Sumatera Dairy Farm (USDF) di Berastagi, Sumatera Utara, entitas usaha yang 69% sahamnya dimiliki ULTJ. Rencananya tahap pertama di 2019 ini beroperasi dengan 2.000 sapi perah, dengan rencana jangka panjang mencapai 6.000 sapi perah.
Nantinya sebagian produksi susu dari peternakan tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan bahan baku ULTJ juga direncanakan bakal menyuplai kebutuhan susu nasional. Adapun dana pengembangan peternakan tersebut diperoleh dari anggaran belanja modal alias capital expenditure tahun 2019 ini yang senilai Rp 65 miliar, selain pengembangan peternakan capex digunakan juga untuk pembelian mesin baru dan pembangunan kantor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News