Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sudah lima tahun bekerja di Jakarta, Deslina Rajagukguk masih betah tinggal di kos-kosan berukuran 3 x 3 meter di gang sempit Kawasan Kramat Sentiong.
Padahal berprofesi sebagai seorang staf di sebuah kantor advokat di ibukota, ia sudah bergaji jauh di atas upah minimum regional (UMR). Jadi, bukan hal sulit sebetulnya jika dia punya rumah sendiri.
Deslina mengaku dirinya tetap punya keinginan tinggal di rumah miliknya, bukan menyewa. Tapi hingga kini, di usianya yang telah menginjak 27 tahun, dia belum berani beli rumah.
Baca Juga: BCA prediksi pertumbuhan kredit konsumer tahun ini masih lambat
Alasan pertama, dia sangat suka pelesiran. Tidak selalu mewah memang, malah lebih sering ia melancong dengan komunitas-komunitas backpacker. Tetapi dengan mematok minimal sekali sebulan menjelajahi tempat wisata, biaya yang harus dikeluarkan tetap terhitung besar.
Kedua, dia bercita-cita punya rumah tidak jauh dari tempatnya bekerja. Sementara harga rumah sesuai lokasi yang ia harapkan, tidak jauh dari ibu kota, sudah terlalu mahal saat ini.
Perkara mengumpulkan uang muka sebenarnya bukan persoalan bagi Deslina, yang ia khawatirkan hanya beban cicilan yang harus ditanggungnya ke depan.
"Saya takut nanti jadi gak bisa jalan-jalan karena punya cicilan. Lagi pula saya belum menikah, jadi nanti saja beli rumah kalau sudah berkeluarga, sambil cari-cari rumah yang lebih terjangkau," tuturnya pada Kontan.co.id
Cerita Deslina merupakan salah satu contoh kendala yang dihadapi kalangan millenial memiliki hunian. Sementara menurut Head of Research Savills Indonesia Anton Sitorus, potensi pasar properti dari generasi millenial ini sangat besar.
Baca Juga: Tanrise Property pasarkan apartemen Kyo Society tahap dua