kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Keran Ekspor Pasir Laut Ditutup Total


Senin, 11 Mei 2009 / 14:29 WIB


Reporter: Epung Saepudin | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Meski pengusaha mendesak agar ekspor pasir laut kembali dibuka, namun pemerintah tetap pada pendiriannya semula. Yakni, pemerintah akan menutup secara total ekspor pasir laut ke luar negeri. ”Larangan ekspor pasir laut sudah harga mati sehingga setiap usulan untuk membuka kembali izinnya akan ditolak.

Pelarangan ini atas pertimbangan, ekspor pasir laut itu lebih banyak merugikan masyarakat, seperti merusak lingkungan, menimbulkan abrasi, dan menghilangkan mata pencaharian di sekitar pantai," tegas Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Aji Sularso.

Selain itu, DKP menilai, ekspor pasir laut hanya menguntungkan negara tujuan ekspor. Misalnya di Singapura. Negeri kecil itu akan mengalami penambahan wilayah, sementara Indonesia malah berkurang. "Untuk itu, kami juga melarang pemindahan pasir laut atau tanah dari pulau yang tidak berpenghuni. Hal ini bakal mendatangkan banyak permasalahan, seperti persoalan kedaulatan negara," tegasnya.

Aji menjelaskan, selama ini, desakan agar pemerintah membuka ekspor pasir laut datang dari pelaku usaha. Namun, pemerintah tak bisa mengabulkan permintaan tersebut. Sebab, ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan. "Jangan cuma pertimbangan ekonomi saja yang dikedepankan, lingkungan juga harus diperhatikan," tegasnya, kepada KONTAN, Senin (11/5) di Jakarta.

Harga mati yang ditetapkan pemerintah itu membuat pengusaha kecewa. Ketua Umum Pengusaha Penambangan dan Pemasaran Pasir laut Erma Hidayat mengatakan, permintaan pasir laut di luar negeri sangat tinggi. Jika keran ekspor pasir ditutup, sudah dipastikan sekitar 200 pengusaha akan gulung tikar. “Potensi ekspor pasir laut sangat besar. Nilainya bisa mencapai Rp 10 triliun," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×