Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, industri pertambangan minerba tidak memberi dampak yang baik dari sisi lingkungan. Indonesia pun harus bisa melepas ketergantungannya dari ekonomi yang berbasis tambang.
Koordinator Jatam Merah Johansyah menyampaikan, ketergantungan Indonesia terhadap industri pertambangan tercermin dari penerbitan UU Minerba yang baru serta UU Cipta Kerja. Pembangunan nasional yang bersandar pada pertambangan dinilai akan menciptakan model ekonomi yang tidak berkualitas.
Catatan Jatam, 44% daratan di Indonesia sudah dikavling untuk konsensi pertambangan minerba. Dengan begitu, risiko masalah klasik industri pertambangan bisa kembali terulang dalam jumlah yang besar. Mulai dari pencemaran akibat limbah, penggundulan hutan, penggusuran terhadap masyarakat lokal, hingga kemunculan lubang-lubang tambang tak terurus yang dapat menewaskan warga.
Eksploitasi minerba secara besar-besaran juga kerap terjadi di pulau-pulau kecil di Indonesia. Padahal, pulau-pulau kecil tersebut umumnya rentan terdampak efek pemanasan global ketika ekosistemnya mengalami kerusakan.
“Ada 55 pulau kecil yang sudah dikuasai oleh tambang. Banyak juga izin tambang yang diterbitkan pada wilayah hutan lindung dan konservasi,” ungkap Merah, Minggu (3/1) lalu.
Baca Juga: Menteri ESDM tegaskan insentif pemerintah untuk proyek hilirisasi batubara
Dengan fakta-fakta tersebut sebenarnya pemerintah turut bertanggung jawab atas segala kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kegiatan pertambangan.
Maka dari itu, Jatam menyerukan supaya pemerintah memberlakukan moratorium pertambangan. Artinya, penerbitan izin pertambangan harus dihentikan lantaran banyak kerugian yang ditimbulkan oleh industri tersebut.
Moratorium juga diperlukan supaya Indonesia bisa lepas dari ketergantungan batu bara sebagai sumber energi primer dan beralih ke sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Hanya memang, bagi Jatam, upaya moratorium tersebut akan sulit terwujud seiring banyaknya insentif di sektor pertambangan melalui UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Beberapa proyek strategis nasional (PSN) tahun ini pun berkaitan dengan industri pertambangan, sehingga karpet merah untuk industri tersebut bakal terus dibentangkan.
“Sejauh ini, uang dari hasil tambang itu sangat kecil dibandingkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan," jelas Merah.
Dia juga menilai, kebijakan hilirisasi pertambangan yang digembar-gemborkan pemerintah juga tetap menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup dan masyarakat. Kebijakan ini pun terkesan hanya untuk melindungi pelaku usaha tambang, khususnya batu bara, yang notabene sudah berada di periode sunset. Bahkan, eksploitasi sumber daya minerba yang masif bisa saja terjadi demi memenuhi kebutuhan di sektor hilir.
Sebagai contoh, rencana pengembangan industri baterai kendaraan listrik jika tidak diawasi dengan ketat, justru hanya akan menjadi ajang eksploitasi nikel besar-besaran di sejumlah wilayah Indonesia. Lagi-lagi, risiko kerusakan lingkungan juga besar mengingat beberapa sumber daya nikel berlokasi di daerah terpencil atau pulau kecil.
“Di era transisi energi, semestinya tidak ada vaksin untuk industri pertambangan. Indonesia harus bisa keluar dari ketergantungan terhadap tambang yang sudah terbukti memberi dampak negatif bagi lingkungan,” imbuh Merah.
Selanjutnya: Saham-saham ini sensitif terhadap pergerakan harga emas, begini rekomendasi analis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News