Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia cukup penting untuk segera dipercepat. Peran swasta pun dinilai pemerintah cukup krusial untuk mendorong penggunaan energi ramah lingkungan di dalam negeri.
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM F.X Sutijastoto menyebut, tiap tahun kebutuhan dana untuk pengembangan EBT bisa mencapai Rp 30 triliun. Di sisi lain, anggaran di Kementerian ESDM hanya mencapai Rp 7 triliun.
Baca Juga: Jokowi: Dunia menuju pada energi ramah lingkungan
Adapun anggaran untuk Direktorat Jenderal EBTKE hanya sekitar Rp 1,3 triliun. "Kalau tidak ada dukungan investasi dari pihak swasta, EBT akan susah diterapkan," imbuhnya ketika ditemui Kontan, Rabu (20/10).
Di kesempatan yang sama, Direktur PT Heksa Prakarsa Teknik Kusetiadi Raharjo sepakat bahwa dorongan terhadap pengembang EBT swasta perlu dilakukan oleh pemerintah. Sebab, pemerintah memiliki keterbatasan dana untuk mengembangkan EBT secara mandiri.
Namun, implementasi di lapangan memang tidak mudah. Salah satu tantangan di sektor EBT saat ini adalah biaya investasi awal untuk proyek pembangkit listrik ramah lingkungan masih tergolong tinggi.
Baca Juga: Kaya akan sumber energi hijau, Kementerian ESDM upayakan percepatan EBT di Indonesia
Padahal, ketika proyek tersebut sudah jadi, biaya operasional yang ditanggung menjadi lebih murah ketimbang energi konvensional.
“Selain itu, kadang pengembang energi konvensional juga tidak ingin kehilangan pasar,” tambah dia di Jakarta, Rabu (20/11).
Menurutnya, percepatan EBT di Indonesia patut dilakukan. Hal ini bukan soal mahal atau murahnya investasi di sektor tersebut, namun lebih kepada ancaman pemanasan global yang semakin nyata di depan mata.
“Di India dan China dampak pencemaran lingkungan akibat sisa bahan bakar fosil sudah sangat terlihat. Sebelum itu terjadi, Indonesia harus bergegas,” katanya.
Baca Juga: Menteri ESDM: Kebutuhan listrik tiap tahun bertambah 5.000 MW
Sebagai informasi, Heksa Hydro merupakan perusahaan swasta yang memproduksi turbin mikrohidro dengan memanfaatkan tenaga air. Teknologi mikrohidro ini dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan listrik, khususnya di wilayah terpencil yang tidak terjangkau oleh PLN.
Teknologi mikrohidro perusahaan ini bahkan telah diekspor ke berbagai negara, seperti Afrika dan Jepang.
Sementara itu, Vice President Renewable Energy PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Budi Mulyono mengaku, wajar apabila pihak swasta perlu dilibatkan dalam pengembangan EBT.
Baca Juga: Menteri ESDM: Program 35.000 MW selesai tiga tahun ke depan
Sejauh ini, ia melihat minat pengembang EBT swasta sebenarnya sangat besar, namun bersifat dinamis. Dalam hal ini, bisa saja ada suatu wilayah di mana Independent Power Producer (IPP) beroperasi, namun beberapa tahun berikutnya tidak ada ekspansi lagi dari IPP yang bersangkutan.
“Di situ PLN bisa mengisi kekosongan dan diupayakan baik PLN dan IPP bisa saling berpartner,” katanya.
Baca Juga: Pengusaha dukung pemerintah jembatani gap harga EBT
Sekadar catatan, Budi sempat memaparkan bahwa porsi pembangkit listrik EBT di Indonesia baru mencapai kapasitas 7,43 MW per September lalu.
Dari jumlah tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memiliki kapasitas hingga 4,71 MW sedangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) mencapai 1,97 MW.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News