Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
Ketiga, terkait dengan skala keekonomian perusahaan. Menurut Yunus, bagi pertambangan skala besar, seperti pertambangan nikel PT Antam dan Vale Indoensia, apabila pengolahan dan pemurnian dipisahkan maka proyek pemurnian menjadi tidak ekonomis.Yunus khawatir, hal ini dapat menurunkan investasi di sektor pertambangan.
"Karena tingkat keekonomian smelter tergolong marjinal, sehingga apabila tidak terintegrasi dengan tambang proyek menjadi tidak feasible," ungkapnya.
Keempat, Yunus menilai bahwa pengalihan kewenangan pemurnian mineral ini akan menimbulkan inefisiensi perizinan usaha, karena perusahaan harus mengantongi dua izin, yakni izin penambangan sampai pengolahan serta izin pemurnian.
Hanya saja, Yunus mengatakan, pemisahan pemurnian dan pertambangan dimungkinkan untuk komoditas tertentu, seperti nikel dan bauksit. Sebab, saat ini pun sudah terdapat fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang berdiri sendiri (stand alone) yang pengaturannya menjadi wewenang Kemenperin melalui Izin Usaha Industri (IUI).
Baca Juga: Ekonom Indef: Omnibus law cipta lapangan kerja harus punya konsep yang jelas
Lebih lanjut, Yunus menekankan bahwa saat ini hilirisasi pertambangan masih dominan menghasilkan produk setengah jadi atau intermediette produk. Yunus menegaskan, pentingnya menumbuhkan industri agar bisa menyerap produk tersebut dan mengolahnya menjadi barang jadi atau produk final yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
"Inilah tantangan besarnya yang harus kita pikirkan. Industri untuk menjadikan barang jadi untuk menyerap produk intermediette harus diperbanyak," tandasnya.
Yunus memberi contoh, di komoditas tembaga, misalnya. Kapasitas output dari dua smelter eksisting menghasilkan produksi 325.000 ton katoda tembaga per tahun. Namun, kebutuhan riil yang dapat diserap oleh industri domestik hanya sebesar 218.000 ton per tahun.
"Jadi masih ada lebih 107.000 ton per tahun, karena nggak ada yang menyerap, ini lah yang harus dipikirkan," ujar Yunus.
Begitu juga di komoditas nikel. Dalam setahun, kapasitas output dari 11 smelter eksisting mampu menghasilkan logam nikel sebanyak 319.220 ton Ni. Namun, industri stainless steel domestik baru mampu menyerap 30.000 ton Ni.
"Produk-produk mineral sudah sampai sini, yang harusnya dilakukan adalah menjadikan logam-logam tadi menjadi industri barang jadi," kata Yunus.
Baca Juga: Dalam Omnibus Law, Kementerian ESDM terancam kehilangan wewenang pemurnian mineral?
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Pusat Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bakhtiar berpendapat, baik dalam revisi UU Minerba maupun Omnibus Law, perlu ada kejelasan mengenai batasan dari proses pengolahan dengan pemurnian mineral.