Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan produksi rumput laut basah meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Target produksi rumput laut KKP pada 2018 sebesar 16,17 juta ton, naik 21,58% dibandingkan target produksi tahun sebelumnya yakni 13,3 juta ton.
Direktur Produksi dan Usaha Budidaya KKP Umi Windriani optimistis target tersebut akan tercapai pada tahun ini.
Menurutnya, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencapai target tersebut. Pertama, memberikan berbagai bantuan seperti bantuan bibit rumput laut. Kedua, melakukan pendekatan secara kluster atau mendekatkan kebun bibit dengan sentra budidaya rumput laut. Selain itu, KKP juga berupaya mendekatkan offtaker dengan pembudidaya.
"Offtaker atau pembeli itu harus didekatkan untuk meransang pembudidaya, kalau dulu tidak ada yang beli, jadi sekarang kita harus mendekatkan pembeli dengan pembudidaya," ujar Umi kepada Kontan.co.id, Senin (30/4).
Menurut Umi, potensi peningkatan produksi rumput laut masih besar. Pasalnya, sampai sekarang luas pemanfaatan budidaya rumput laut masih sebesar 2,25% atau sekitar 267.814 ha dari potensi indikatif kawasan budidaya laut yang seluas 12,12 juta ha. Padahal, terdapat kawasan seluas 2,64 juta ha yang memiliki potensi indikatif budidaya rumput laut dan 1,58 juta ha yang berpotensi efektif untuk budidaya rumput laut.
Umi mengaku, sulitnya mendorong pembudidaya berhubungan dengan harga. Seban, apabila harga rumput laut kurang menarik, maka pembudidaya akan kurang tertarik beralih ke rumput laut. "Karena itu kami mendorong untuk menaikkan harga, supaya mereka mau membudidaya. Meski begitu, sekarang harganya sudah mulai stabil," paparnya.
Ia menyebut, saat ini, rumput laut yang dihasilkan Indonesia sebagian besar masih diekspor. Apalagi, Indonesia merupakan produsen rumput laut terbesar di dunia.
Namun, masih ada kendala yang harus dihadapi. Kendala tersebut adalah masalah logistik. Umi menjelaskan, produksi rumput laut sebagian besar berada di wilayah Indonesia bagian timur dan jauh dari pelabuhan ekspor, sehingga rumput laut tersebut harus dikirim ke Pulau Jawa terlebih dahulu sebelum diekspor. Biaya logistik dan distribusi ini dianggap tidak efisien.
Selain itu, ada sejumlah tantangan yang dihadapi, mulai dari sisi sumber daya manusia, di mana penguasaan teknologi untuk mendukung diversifikasi belum optimal, lalu pasar global yang mementingkan mutu, harga, daya saing, dan akses pasar. Kemudian, industri pengguna rumput laut yang masih menggunakan produk impor, nilai tambah produk masih rendah, dan penerapan SNI yang rendah.
Tantangan lainnya adalah terbatasnya ketersediaan lahan dan bibit, penetapan zonasi yang masih bermasalah, dukungan infrastruktur yang masih bermasalah, lambatnya pertumbuhan investasi berbasis rumput laut, dan ketersediaan modal usaha rumput laut masih terbatas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News