kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.378.000   -2.000   -0,08%
  • USD/IDR 16.679   3,00   0,02%
  • IDX 8.513   -9,16   -0,11%
  • KOMPAS100 1.180   -0,18   -0,02%
  • LQ45 856   -1,26   -0,15%
  • ISSI 300   0,86   0,29%
  • IDX30 441   -2,75   -0,62%
  • IDXHIDIV20 511   -2,19   -0,43%
  • IDX80 133   -0,14   -0,10%
  • IDXV30 136   0,00   0,00%
  • IDXQ30 141   -0,76   -0,53%

Korea Selatan Pensiunkan 41,2 GW PLTU, Ekspor Batubara RI Berpotensi Tertekan


Rabu, 26 November 2025 / 08:43 WIB
Korea Selatan Pensiunkan 41,2 GW PLTU, Ekspor Batubara RI Berpotensi Tertekan
ILUSTRASI. nasib ekspor batubara Indonesia


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Korea Selatan memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara dan resmi bergabung dengan Powering Past Coal Alliance (PPCA) mulai memunculkan kekhawatiran pelaku usaha tambang nasional.

Negeri Ginseng berkomitmen menghentikan operasional total 41,2 gigawatt (GW) kapasitas PLTU yang selama ini menyumbang 60% emisi sektor kelistrikan mereka, setara 156 juta metrik ton CO2 ekuivalen.

Pendiri dan Direktur Pelaksana Asia Research & Engagement (ARE), Ben McCarron, menilai langkah Korea Selatan menjadi momentum penting yang dapat menggeser arah transisi energi di kawasan Asia.

Dampak kebijakan tersebut kini mulai dihitung pelaku usaha di Indonesia, mengingat Korea Selatan merupakan salah satu pasar ekspor batubara Indonesia.

Baca Juga: Pertamina Terima Pembayaran Kompensasi Energi Kuartal I-2025

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan, pihaknya masih menunggu detail implementasi keputusan tersebut.

“Terus terang kami belum tahu persis detail PPCA, seperti kapan PLTU batu bara tersebut akan dihentikan. Tentunya akan bertahap, butuh waktu beberapa tahun,” ujarnya kepada Kontan, dikutip Rabu (26/11/2025).

Namun, Hendra mengakui keputusan itu berpotensi memengaruhi permintaan batubara Indonesia.

“Iya benar, kesepakatan tersebut akan berdampak kepada ekspor batubara ke Korsel,” katanya.

Data terakhir menunjukkan impor batubara termal Korea Selatan relatif stabil. Pada periode Januari–Oktober 2025, total impor batubara negara tersebut tercatat 67,70 juta ton, dengan Indonesia menyuplai 21,57 juta ton atau 31,9%.

Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani mengungkapkan, meski Korea Selatan sudah menyiapkan roadmap pensiun PLTU, penurunannya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

“Proyeksi permintaan batu bara Korsel tetap berada di kisaran sekitar 82 juta ton hingga 2030, sehingga pasarnya masih ada dalam beberapa tahun ke depan,” kata Gita kepada Kontan, Jumat (21/11/2025).

Baca Juga: Dikabarkan Sepakat Beli BBM dari Pertamina, Ini Respons Shell

Gita menjelaskan, ekspor batubara Indonesia ke Korea Selatan pada Januari–Oktober tahun ini mencapai 26,35 juta ton atau sekitar 6,3% dari total ekspor nasional.

“Dengan demikian, dampak kebijakan pensiun PLTU Korea Selatan terhadap volume ekspor batubara Indonesia akan muncul secara bertahap dalam jangka panjang," tegasnya.

Potensi Kehilangan 25 Juta Ton per Tahun

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Sudirman Widhy, menilai dampaknya dalam jangka panjang cukup signifikan.

“Dalam dua tahun terakhir, volume ekspor batubara Indonesia ke Korea Selatan di kisaran 25–26 juta ton per tahun atau sekitar 4,8% dari total ekspor nasional,” ujarnya kepada Kontan, dikutip Rabu (26/11/2025).

Menurut Sudirman, dengan keputusan bergabungnya Korea Selatan ke PPCA pada COP30 di Brasil, Indonesia berpotensi kehilangan pasar sekitar 25 juta ton per tahun.

“Walaupun secara persentase hanya 4,8%, kehilangan volume ekspor sebesar 25 juta ton tentu memberi tekanan tambahan, apalagi saat ini ekspor ke China juga turun karena mereka meningkatkan produksi domestik,” jelasnya.

Dia mengingatkan perubahan kebijakan energi di berbagai negara akan menjadi tren yang harus diantisipasi. “Bisa jadi akan ada negara lain yang mengikuti jejak Korea Selatan,” ujarnya.

Baca Juga: Laba Pertamina Sentuh Rp 34 Triliun hingga September 2025: Efisiensi Kuncinya

Sudirman mendorong pemerintah dan pelaku usaha melakukan evaluasi mendalam terhadap target produksi batubara nasional. Menurutnya, produksi yang terlalu agresif berisiko tidak terserap oleh pasar dan memicu penurunan harga.

“Ke depan akan lebih baik jika penggunaan batubara domestik lebih diutamakan, terutama untuk penyediaan energi dalam pembangunan nasional,” ujarnya.

Dia menambahkan, Indonesia perlu mengoptimalkan sumber daya batubara yang masih besar sembari menekan emisi melalui pengembangan teknologi carbon capture and storage (CCS).

“Pemerintah sebaiknya mulai mendorong pengembangan teknologi tersebut untuk mengurangi emisi dari penggunaan batubara,” tandas Sudirman.

Selanjutnya: Pertamina Percepat Integrasi Bisnis Hilir demi Efisiensi dan Penguatan Rantai Pasok

Menarik Dibaca: Sunscreen Baru Amaterasun, Begini Cara Pakainya agar Perlindungan Lebih Maksimal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×