Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta pemerintah mengantisipasi kenaikan harga bawang putih.
Komisioner KPPU Guntur S Saragih mengatakan, KPPU telah melakukan pemantauan komoditas bawang putih sejak Desember 2020.
Ia meminta kementerian/lembaga terkait mengantisipasi pasokan dan kenaikan harga bawang putih. Terlebih, produksi bawang putih dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan bawang putih nasional.
KPPU berharap, pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan mengantisipasi potensi kenaikan harga bawang putih. Apalagi kajian KPPU menyebut dalam empat tahun terakhir sejak 2017, bawang putih mengalami kenaikan harga pada semester pertama.
Guntur menyebut, permasalahan bawang putih terkait dengan izin impor dan realisasi impor. Jika izin impor terlambat atau belum terbit, maka akan berisiko terhadap terlambatnya realisasi.
Hal ini yang nantinya akan berisiko terhadap turunnya supply di pasar yang pada akhirnya berisiko terhadap naiknya harga yang harus ditanggung konsumen.
Baca Juga: Pasokan bawang putih kekurangan 34.201 ton pada April mendatang
“Kami melihat bahwa risiko itu (kenaikan harga bawang putih) ada di tahun 2021,” kata Guntur saat konferensi pers virtual, Jumat (22/1).
Deputi Kajian dan Advokasi KPPU, Taufik Ariyanto mengatakan, kajian KPPU mendapatkan fakta bahwa tren kenaikan harga bawang putih selalu terjadi pada semester pertama sejak tahun 2017.
Bahkan di tahun 2020 kenaikan harga bawang putih sudah terjadi sejak bulan Februari. Hal ini karena sumber utama impor pasok komoditas di China yang mengalami lockdown sehingga terjadi kesulitan logistik untuk melakukan importasi awal 2020.
“Kalau kita lihat polanya sejak 2017, 2018, 2019, 2020 selalu terjadi kenaikan harga di 3 atau 4 bulan awal tiap tahun,” ujar Taufik.
Taufik mengatakan, kajian KPPU berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian dan data impor dari Kementerian Perdagangan, memperkirakan stok awal tahun 2021 antara 150.000 ton sampai 178.000 ton.
Kemudian, berdasarkan masukan dari importir selama pandemi terjadi penurunan konsumsi bulanan yang biasanya sekitar 46.000 ton – 48.000 ton turun menjadi sekitar 40.000 ton selama tahun 2020.
Berdasarkan kajian tersebut, KPPU mendapat tiga skenario perhitungan stok dan kebutuhan bawang putih. Skenario pertama dengan estimasi konsumsi bawang putih tinggi yakni 48.000 ton per bulan. Maka akumulasi konsumsi pada Januari – Maret 2021 mencapai 144.000 ton.
Skenario kedua dengan estimasi konsumsi bawang putih sedang yakni mencapai 45.000 ton per bulan. Maka akumulasi konsumsi pada Januari – Maret 2021 mencapai 135.000 ton.
Skenario ketiga dengan estimasi konsumsi bawang putih rendah yakni mencapai 40.000 ton per bulan. Maka akumulasi konsumsi pada Januari – Maret 2021 mencapai 120.000 ton.
Baca Juga: Siap-siap, pasokan bawang putih akan mengalami kekurangan mulai April
“Skenario ini hitung – hitungan kami stok awal April (2021) sudah minus alias sudah di bawah tingkat konsumsi bulanan. Ini yang memungkinkan akan mendorong terjadinya kenaikan harga. Critical pointnya adalah akhir Maret dan awal April akan ada potensi kenaikan harga,” ucap dia.
Lebih lanjut, Taufik mengatakan, bawang putih tidak termasuk dalam kategori bahan komoditas pokok. Hal ini mengacu pada pasal 2 ayat 6 Peraturan Presiden (Perpres) nomor 71 tahun 2015 yang diubah melalui Perpres nomor 59 tahun 2020 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting.
“Implikasi dari kondisi tersebut, tidak diperlukan adanya intervensi yang ketat dari pemerintah. Khususnya berupa tata niaga importasi yang melibatkan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan untuk komoditi bawang putih,” ucap dia.
Meski begitu, KPPU mengapresiasi adanya perubahan bunyi pasal yang terkait dengan impor produk hortikultura. Sebelumnya dalam UU nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura, pasal 88 ayat (2) menyebutkan, “Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah mendapat izin dari menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan setelah mendapat rekomendasi dari menteri.”
Kemudian dalam UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, bunyi pengaturan berubah menjadi, “Impor produk hortikultura dapat dilakukan setelah memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.”
“Kita berharap dengan adanya perubahan ini yang tadinya ada dua pintu dari Kementan dan Kemendag bisa disederhanakan mekanisme importasinya mengacu pada proses perizinan berusaha dari pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja,” tutur Taufik.
Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, jika kesenjangan antara jumlah produksi dan kebutuhan bawang putih tidak segera dipenuhi, hampir dapat dipastikan bahwa harga bawang putih akan kembali meningkat.
Ia menyebut, kejadian tersebut hampir sama dengan yang terjadi pada awal 2020 lalu, di mana harga bawang putih bersama dengan beberapa komoditas pangan lain seperti bawang bombai dan gula sempat melonjak.
Baca Juga: Kementan sebut pengajuan impor hortikultura capai 157.052 ton
Terlambat turunnya RIPH dan kebijakan pembatasan sosial atau lockdown yang diberlakukan di negara pemasok menjadi penyebabnya.
Pemerintah perlu memperhatikan jika proses pengajuan impor yang diawali dengan pengurusan RIPH dan SPI berlangsung tidak sebentar. Jadi, selain perlunya ketersediaan data yang akurat dan pemantauan harga, evaluasi terhadap proses pengajuan impor juga perlu dilakukan. Misalnya kemungkinan proses impor yang panjang tersebut juga berkontribusi pada terlambat masuknya pangan yang dibutuhkan.
“Mengantisipasi siklus yang biasanya cenderung berulang, pemerintah idealnya sudah dapat memperkirakan kapan tindakan impor perlu dilakukan,” kata Felippa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News