Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Azis Husaini
Bagi manusia, emas ibarat gula yang bisa mendatangkan semut. Emas yang membawa orang beramai-ramai mendatangi Gunung Bakan untuk mengadu nasib mendapatkan berkah sebongkah emas. Meskipun dengan risiko tinggi dan mengadu nyawa, toh mereka tetap enjoy.
Hujan gerimis tak menghalangi aktivitas beberapa kelompok orang yang sibuk menggali tanah di lubang berukuran sekitar 1 x 1 meter di salah satu sisi lereng perbukitan Gunung Bakan, Kecamatan Laloyan, Bolaang Mondondow, Sulawesi Utara. Mereka sibuk menggali di bawah naungan warna-warni terpal yang sekaligus menjadi penanda dan identitas dari tiap kelompok penambang.
Satu orang tampak menunggui bak yang berisi air sianida, yang berfungsi memisahkan lumpur dengan butiran-butiran emas. Yang lain menenteng-nenteng golok mondar-mandir di untuk mengamankan wilayah tambang mereka sekaligus menghalau pendatang yang ingin mengadu nasib menjadi penambang liar di tempat itu.
Penambangan liar seperti ini disebut Peti. Mereka beroperasi di lahan penyangga tambang Blok Bakan yang dioperasikan PT J Resources Bolaang Mongondow. Lahan kelolaan J Resources seluas 700 hektare (ha).
Aktivitas penambang liar atawa gurandil ini mulai marak sejak 11 bulan silam. Aktivitas ini sejatinya tak cuma membahayakan bagi para penambang, tapi juga lingkungan sekitar.
Sebab, dengan menggangsir bukit penyangga tambang, bisa menyebabkan tanah longsor. Tak hanya itu, penggunaan zat kimia tanpa batas dalam aktivitas tambang liar ini berpotensi mengganggu lingkungan hidup dan meracuni mahluk hidup di sekitarnya, termasuk warga masyarakat.
Pemerintah daerah bersama dengan polisi sempat melarang aktivitas tambang liar ini. Namun, semakin dilarang makin banyak yang datang untuk mengadu nasib.
Lokasi tambang liar ini sekitar 2 kilometer dari Desa Bakan. Praktik Peti pertama dilakukan oleh pemilik lahan sendiri. Kedua kedua pemilik lahan mendatangkan penambang lalu menggunakan metode bagi hasil. Kini tak kurang 2.000 orang Peti yang menjejali lahan sekitar 22 ha di kawasan ini.
Sebagian pilih melakukan penambangan terbuka atawa open pit dan yang lain dengan cara menggangsir alias underground pit dengan kedalaman rata-rata hingga 25 meter. Tiap grup penambang ini biasanya terdiri dari sekitar 10 orang.
Opo, salah satu jurangan tambang liar kepada KONTAN, menceritakan, dalam siklus sepuluh hari biasanya bisa menghasilkan emas seberat 1 kilogram. Ongkos produksi emas ini juga tidak mahal karena hanya menggunakan peralatan penambangan sederhana, plus zat kimia seperti merkuri dan sianida juga mudah didapat dari Manado.
Kalau stok di Manado sulit didapat, mereka impor dari Filipina. "Keuntungannya bagus dan ada back up pemangku kuasa, saya bisa tenang menjalankan bisnis," kata cukong Peti berusia 41 tahun yang mengklaim punya ribuan penambang liar itu, Kamis (25/5).
Opo mengaku bisa meraup untung mencapai ratusan juta. Hanya, untung itu tidak ia makan sendiri melainkan dibagi-bagi sesuai peran masing-masing.
Namun bila siklus 10 hari gagal mendapatkan hasil, dirinya harus menanggung rugi sekitar Rp 25 juta untuk biaya produksi termasuk pembelian zat kimia. "Kalau beruntung saya bisa mendapatkan kadar emas murni 98% yang bisa dijual ke toko emas di Manado dengan harga di bawah harga logam mulia," ungkap dia.
Semua pihak bermain
Sebelumnya para penambang menggunakan zat kimia merkuri untuk memisahkan lumpur dengan emas, tapi kini beralih ke sianida. Opo menyebut dengan menggunakan merkuri daya ikat kandungan emasnya hanya berkisar 60%, sedangkan bila dipakai sianida bisa 98%.
Dalam memakai dua bahan kimia berbahaya, Opo mengklaim memiliki ahli geologi yang bisa menghitung kadar penggunaan zat kimia yang dibutuhkan. Ahli tersebut sebelumnya pernah memiliki pengalaman bekerja di perusahaan emas, mereka mendapatkan bayaran berupa persentase 10%-15% dari hasil yang didapatkan.
Bagi sebagian orang yang terlibat dalam aktivitas tambang liar ini, tentu menguntungkan. Namun, Didi Koleangan, aktivis Lingkungan dari Yayasan Suara Nurani Minaesa (YSNM) menyayangkan kondisi ini. Ia melihat tidak ada niat dari pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah penambang liar ini.
Ia menilai pemerintah daerah cenderung melakukan pembiaran untuk menghindari meluasnya konflik horizontal. Apalagi yang terlibat dalam Peti ini tidak hanya segelintir tapi banyak pihak dan lintas dari otoritas.
Ia mengingatkan, sesuai dengan Undang-undang tentang Mineral dan Batubara, pemerintah daerah punya kewenangan memfasilitasi perubahan tambang liar dengan menjadikan Wilayah Pertambangan Rakyat yang mendapat Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Pemda bisa mengontrol dan memfasilitasi penambang untuk membuat analisa dampak lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) (UKL-UPL).
Veronica Kurumur, Pemerhati Lingkungan yang juga Dosen Arsitektur dan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Sam Ratulangi, menilai, penambangan rakyat sudah sebelum perusahaan tambang masuk. Namun saat ini jumlahnya yang membludak sehingga sulit ditertibkan. Ia mengingatkan jika terus dibiarkan kondisi ini jelas mengganggu iklim investasi.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News