Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain pelemahan harga global, turunnya permintaan dari industri penggilingan kakao (grinders) juga menjadi faktor melambatnya ekspor kakao Indonesia pada pertengahan tahun ini.
Pengamat Pertanian Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menjelaskan, kombinasi antara peningkatan pasokan dan pelemahan permintaan global menekan harga kakao dunia.
“Rata-rata harga kakao pada Juni 2025 berada di kisaran US$ 8.402 per ton, turun menjadi sekitar US$ 8.000 per ton pada Juli, dan kini terus melemah hingga menyentuh US$ 5.980 per ton,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (9/10/2025)
Menurut Eliza, penurunan harga terjadi karena peningkatan produksi di Pantai Gading dan Ghana yang menyebabkan surplus sekitar 186 ribu ton pada musim 2025/2026. Sementara dari sisi permintaan, aktivitas penggilingan kakao global juga melambat.
Baca Juga: Harga Kakao Global Anjlok, Eksportir Indonesia Tahan Ekspor
“Data menunjukkan volume penggilingan turun 7,2% di Eropa, 16% di Asia, dan 2,8% di Amerika Utara pada kuartal II-2025,” paparnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor biji kakao Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar US$ 7,6 juta, turun sekitar 5% dibandingkan Juni yang mencapai US$ 8 juta.
Di sisi domestik, Eliza menilai kebijakan pungutan ekspor baru sejak kuartal III-2025 turut menahan ekspor biji mentah karena mendorong peningkatan pengolahan di dalam negeri.
“Kebijakan ini memang menjadi disinsentif bagi eksportir, tapi tujuannya untuk mengisi kapasitas industri kakao nasional yang masih idle,” jelasnya.
Ia menekankan, perlambatan ekspor tidak bisa langsung diartikan sebagai penurunan kinerja, karena merupakan bagian dari proses hilirisasi.
Baca Juga: Ekspor Biji Kakao RI Berpotensi Terkoreksi, APKAI Soroti Arah Hilirisasi
Pemerintah perlu menjamin harga yang berkeadilan bagi petani, mempercepat program peremajaan tanaman, serta memperkuat sertifikasi mutu agar biji kakao Indonesia tetap berdaya saing.
“Selain itu berikan insentif untuk industri pengolah kakao di dalam negeri yang menyerap kakao lokal. Jadi petani kakao diberikan kepastian pasar dan harga sehingga kesejahteraannya terjamin,” jelas Eliza.
Sementara bagi pelaku usaha, perlu fokus pada diversifikasi produk olahan premium dan ekspansi pasar ke Uni Eropa serta Australia.
Kolaborasi dengan petani penting untuk efisiensi rantai pasok, sekaligus mendorong riset dan inovasi agar industri kakao nasional lebih berdaya saing dan bernilai tambah tinggi.
Baca Juga: Kemendag Proyeksikan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tetap Tumbuh pada 2025
Selanjutnya: Saham Damai Sejahtera Abadi (UFOE) Melonjak 60,91% Sepekan, Apa Penyebabnya?
Menarik Dibaca: 5 Makanan yang Baik Dikonsumsi Sebelum Berhubungan Intim, Pasutri Bisa Coba!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News