Reporter: Adi Wikanto, Arfyana Citra Rahayu | Editor: Adi Wikanto
Insentif EBT
Dengan target dan potensi energi yang besar, Kementerian ESDM tidak ingin sendirian mencapainya. Keterlibatan investor sangat penting untuk mencapai target tersebut.
Oleh karena itu, Kementerian ESDM menyiapkan sejumlah insentif dan kemudahan untuk menarik korporasi besar untuk menggarap PLT EBT. Salah satunya, insentif untuk PLT Panas Bumi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, pemerintah pasti akan memberikan kemudahan karena potensi panas bumi sangat besar untuk PLT EBT. PLT Panas Bumi juga ideal untuk melaksanakan perdagangan karbon.
Arifin menyatakan, pemerintah sudah membuat sejumlah aturan yang dapat mengurangi risiko investor jika gagal eksplorasi. “Dan juga kita mendukung kemudahan infrastruktur, kan tempatnya di pojok-pojok (terpencil), nanti kita kerja sama dengan Pak Basuki (Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat),” ujar Arifin 11 Agustus 2023.
Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM, Harris Yahya mengatakan, semua pengembang panas bumi yang memiliki wilayah kerja dan wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) panas bumi berhak menggunakan fasilitas insentif fiskal.
Insentif fiskal dalam panas bumi terbagi atas dua mekanisme. Pertama, melalui alokasi APBN di Kementerian ESDM. Kedua, melalui kerja sama Kementerian ESDM dengan Kementerian Keuangan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
“Ada 16 pemegang wilayah kerja panas bumi (WKP) yang ada saat ini beroperasi dan 15 pemegang PSPE,” ujar Harris.
Hingga saat ini insentif eksplorasi khususnya pembiayaan Geothermal Resources Risk Mitigation (GREM) oleh Sarana Multi Infratruktur sudah ada perusahaan swasta dan BUMN yang tertarik namun belum implementasi.
Melansir laman resmi Kementerian Keuangan, GREM merupakan fasilitas pembiayaan eksplorasi panas bumi yang dapat diakses oleh sektor swasta dan publik di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi risiko tahap awal pengembangan proyek melalui metode de-risking atau pembagian risiko.
Fasilitas pendanaan ini disetujui oleh Green Climate Fund (GCF) pada tahun 2018 dan tercatat sebagai proposal pendanaan pertama yang disetujui di Indonesia. Total fasilitas ini sebesar US$ 651,25 juta dengan sumber pendanaan dari GCF, International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) World Bank, Clean Technology Fund (CTF), dan Kementerian Keuangan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur. Durasi awal fasilitas ini selama 10 tahun dan akan selesai pada tahun 2030.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Arsjad Rasjid mendorong pengusaha Indonesia berinvestasi di bisnis EBT. Pasalnya, bisnis EBT memiliki prospek yang cerah di masa depan.
Ia memberi contoh bisnis biofuel atau bahan bakar nabati. The 7th ASEAN Energy Outlook (AEO7) mencatat bahwa konsumsi biofuel akan tumbuh sebesar 4,7% per tahun sampai 2050, atau lebih cepat dari konsumsi minyak sebesar 4,4%.
Data tersebut mengungkapkan potensi konsumsi bahan bakar nabati ke depannya yang sangat baik dan cepat. “Berinvestasi dalam biofuel juga lebih dari sekadar keputusan ekonomi. Itu adalah komitmen, karbon bagi planet kita dan generasi mendatang,” terang Arsjad.
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemerintah memang sudah semestinya mempercepat pengembangan energi terbarukan. Mengingat, energi terbarukan adalah kunci keberhasilan menghadapi perubahan iklim dan upaya mencapai pertumbuhan nasional berkelanjutan.
IESR menganalisa, sektor kelistrikan berpeluang paling besar untuk mendukung capaian target energi terbarukan. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), diperlukan 45,2 GW listrik yang bersumber dari energi terbarukan pada tahun 2025.
Namun, pengembangan energi terbarukan masih lambat dengan pertumbuhan hanya sekitar 400-500 MW per tahunnya selama lima tahun terakhir. Pertumbuhan tersebut juga jauh dari target pemerintah untuk meningkatkan energi terbarukan 2-3 GW per tahun dalam lima tahun terakhir.
"Indonesia harus tetap optimis dan ambisius dalam meningkatkan bauran energi terbarukannya," jelas Deon Arinaldo.
Deon berpendapat, pemerintah perlu menyiapkan strategi baru yang menimbang perkembangan teknologi, pertumbuhan ekonomi saat ini dan dapat diimplementasikan dalam waktu singkat. "Misalnya bagaimana mengakselerasi PLTS atap seoptimal mungkin dalam dua tahun kedepan,” tegas Deon.
Studi IESR tahun 2023 juga menemukan, pembangkit listrik berkontribusi lebih dari 40% dari total emisi sektor energi di Indonesia. Untuk mendukung capaian bauran energi terbarukan sebesar 23%, maka dibutuhkan setidaknya 24 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan pada tahun 2025. Jumlah itu harus meningkat sebesar 13 GW lebih dalam kurun waktu 2 tahun kedepan. Yang berarti, pertumbuhan pembangkit energi terbarukan perlu mencapai 5-7 GW per tahunnya.
Berdasarkan studi IESR, beberapa strategi yang teridentifikasi pada sektor ketenagalistrikan di antaranya meningkatkan keberhasilan Commercial Operation Date (COD) PLTP sebesar 1,4 GW dan PLTA/PLTM sebesar 4,2 GW. Kemudian peningkatan kapasitas program dedieselisasi PLTD tersebar 588 MW menjadi PLTS 1,2 GWp dan baterai, pembangunan 4,7 GW PLTS dan 0,6 GW PLTB. Selain itu juga implementasi co-firing biomassa pada PLTU PLN dengan porsi rata-rata 10% untuk PLTU Jawa-Bali dan 20% untuk PLTU di luar Jawa-Bali.
Kini, saatnya energi ramah lingkungan diperbesar agar masa depan tetap cerah!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News