Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan membatasi impor etanol lewat penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 32 Tahun 2025. Kebijakan ini diambil untuk menjaga stabilitas harga tetes tebu (molases) sebagai bahan baku utama etanol serta melindungi pendapatan petani tebu dan industri gula nasional.
Aturan tersebut merevisi Permendag 20/2025 mengenai Kebijakan dan Pengaturan Impor Bahan Kimia, Bahan Berbahaya, dan Bahan Tambang. Sejauh ini, pelaku industri menilai efek pembatasan impor tersebut belum terlalu terasa di lapangan.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Dwi Purnomo. Ia menjelaskan, pasalnya penyerapan tetes tebu dari pabrik gula lokal sudah menurun sejak pasar dibanjiri etanol impor dari Pakistan yang bebas bea masuk.
Pun, kondisi semakin berat setelah terbitnya Permendag 16/2025 yang membebaskan impor etanol.
Baca Juga: Ini Untung Rugi Penggunaan Etanol dalam Bahan Bakar
“Ketika impor etanol dibebaskan, tekanan semakin besar. Meskipun kemudian direvisi lewat Permendag 32/2025 yang lebih membatasi, sampai saat ini belum terlihat ada peningkatan harga tetes tebu baik milik petani maupun pabrik gula,” ujar Dwi kepada Kontan, Selasa (14/10/2025).
Lebih lanjut, ia bilang pabrik gula kini dihadapkan pada posisi sulit, antara menjual tetes dengan harga rendah, atau menghadapi risiko overstorage tangki tetes yang bisa menyebabkan proses giling terhenti. Yang mana, hal itu sangat merugikan bagi pelaku usaha.
Dwi menjelaskan, industri gula sejatinya berperan penting sebagai pemasok bahan baku bagi industri etanol domestik. Sayangnya, dengan total potensi produksi tetes tebu nasional yang mencapai sekitar 1,5 juta ton per tahun serapan ke industri etanol baru sekitar 640.000 ton.
Baca Juga: Kemendag Batasi Impor Etanol, Pastikan Penyerapan Tetes Tebu Lokal Aman
Maka, industri gula pada dasarnya sangat mampu menyediakan bahan baku bagi industri etanol jika impor dibatasi.
“Tetes yang diekspor dapat mencapai 700 ribu ton per tahun jika harga tetes dunia sedang bagus. Jadi sebenarnya potensi bahan baku dalam negeri untuk industri etanol sangat mencukupi,” jelasnya.
Namun, distribusi menjadi tantangan tersendiri. Lokasi pabrik gula yang tersebar, termasuk di luar Jawa, membuat biaya logistik tinggi dan memunculkan disparitas harga antar daerah.
Dari sisi harga, Dwi mencatat harga tetes sempat mencapai Rp 2.500 per kilogram tahun lalu, tetapi kini sudah terkoreksi hingga ke bawah Rp 1.000 per kilogram. Dengan kondisi pasar global yang tengah kelebihan pasokan, ia memperkirakan harga tetes hanya akan naik tipis ke sekitar Rp 1.200 per kilogram.
Pemerintah sendiri menegaskan kebijakan pembatasan impor etanol ini merupakan bagian dari strategi mendukung program swasembada gula dan energi sekaligus mendorong ekonomi hijau. Pelaku industri gula kini menanti efek positif dari kebijakan ini di tingkat operasional, khususnya dalam menjaga harga tetes dan keberlanjutan produksi pabrik gula.
Baca Juga: Gula Petani Tak Terjual, APTRI Minta Danantara Cepat Serap Stok
Selanjutnya: Defisit APBN Melebar 1,56% dari PDB per September 2026
Menarik Dibaca: 11 Pasangan Zodiak yang Paling Cocok untuk Menikah, Taurus dan Cancer Langgeng
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News