kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.360.000   27.000   1,16%
  • USD/IDR 16.715   30,00   0,18%
  • IDX 8.367   -24,72   -0,29%
  • KOMPAS100 1.159   -1,24   -0,11%
  • LQ45 843   -2,18   -0,26%
  • ISSI 291   1,30   0,45%
  • IDX30 442   -1,53   -0,35%
  • IDXHIDIV20 510   -0,87   -0,17%
  • IDX80 130   -0,09   -0,07%
  • IDXV30 138   0,07   0,05%
  • IDXQ30 140   -0,19   -0,13%

Menakar Kinerja Industri Kimia di Tengah Lonjakan Impor dan Hadirnya Pabrik Baru


Selasa, 11 November 2025 / 19:23 WIB
Menakar Kinerja Industri Kimia di Tengah Lonjakan Impor dan Hadirnya Pabrik Baru
ILUSTRASI. PT Solusi BPT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) memasok produk turunan semen yaitu beton siap pakai pada Line Project WP4 dalam pembangunan pabrik Lotte Chemical Indonesia (LCI).


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha di industri kimia nasional masih harus berjibaku menghadapi sejumlah tantangan besar.

Salah satu yang paling menonjol adalah lonjakan bahan dan barang impor, terutama dari China, yang terus membayangi kinerja sektor ini.

Sekretaris Jenderal Indonesia Olefin, Aromatic and Plastic Industry Association (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan, arus bahan kimia impor asal China meningkat signifikan pascapandemi Covid-19.

Baca Juga: Menakar Ambisi Indonesia Bebas Impor Solar Lewat Biodiesel

Ia mencatat, impor salah satu jenis bahan petrokimia dari Negeri Tirai Bambu melonjak hampir tiga kali lipat sejak 2023.

"Volume impor naik dari sekitar 50.000 ton pada 2023, kemudian meningkat menjadi 80.000 ton pada 2024. Tahun ini kami perkirakan bisa mencapai 200.000 ton," ungkap Fajar kepada Kontan.co.id, Selasa (11/11/2025).

Menurutnya, lonjakan tersebut tak lepas dari dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Imbas dari ketegangan itu, industri kimia China mencari pasar alternatif seperti Indonesia untuk mempertahankan tingkat utilisasi produksi di atas 80%.

“Mereka ingin menjaga utilisasi tinggi. Jadi pasar seperti Indonesia menjadi sasaran,” ujarnya.

Baca Juga: Bahlil Sebut 45.000 Sumur Rakyat Bakal Tambah Produksi Minyak Mulai Desember 2025

Selain itu, Fajar menilai daya saing produk China semakin kuat karena didukung penguasaan teknologi pengolahan bahan baku petrokimia.

Negeri tersebut tak hanya mengandalkan minyak bumi dan nafta, tapi juga telah mengembangkan teknologi berbasis batubara (coal to chemical) yang efisien.

Akibatnya, industri kimia nasional harus menghadapi persaingan pasar yang kian ketat.

“Kalau pemain lokal harus bersaing dengan produk impor, kinerjanya akan tertekan. Meski begitu, ada juga yang masih bertahan karena tidak langsung bersaing atau punya pasar ekspor yang stabil,” jelasnya.

Baca Juga: PNBP Sektor ESDM Baru Capai Rp 200,66 Triliun, 78,74% dari Target APBN 2025

Kapasitas Produksi Belum Memadai

Pemerintah menyadari bahwa ketergantungan terhadap impor masih menjadi tantangan serius.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memaparkan, kebutuhan bahan kimia nasional pada 2024 mencapai lebih dari 53 juta ton per tahun, di mana 72% di antaranya berbasis migas dan batubara.

Namun, kapasitas produksi dalam negeri belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga nilai impor petrokimia mencapai sekitar US$ 11 miliar per tahun dan diproyeksikan meningkat sekitar 10% setiap tahun.

Baca Juga: Kementerian ESDM Gelontorkan Rp 4,4 Triliun untuk PLN pada Tahun 2025

Pabrik Petrokimia Baru Jadi Harapan

Untuk mengurangi ketergantungan impor, pemerintah mendorong investasi baru di sektor petrokimia.

Salah satu yang terbaru adalah peresmian pabrik baru PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) di Cilegon, Banten, pada Kamis (6/11).

Dengan nilai investasi sekitar US$ 3,9 miliar atau sekitar Rp 60 triliun, pabrik ini diharapkan dapat memperkuat rantai pasok industri kimia nasional.

“Pabrik Lotte Chemical Indonesia New Ethylene ini menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan kimia dasar,” ujar Agus dalam keterangan resmi akhir pekan lalu.

Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menuturkan bahwa pabrik baru ini memiliki potensi nilai hilirisasi hingga US$ 2 miliar per tahun.

Sekitar US$ 1,4 miliar di antaranya akan menggantikan impor produk petrokimia, sementara US$ 600 juta berpotensi menambah nilai ekspor.

“Dari total kapasitas produksinya, 70% akan dipasarkan di dalam negeri dan 30% untuk ekspor. Jadi, selama ini kita impor besar-besaran, dengan pabrik ini kita bisa menekan ketergantungan itu,” jelas Bahlil.

Baca Juga: Intip Strategi Martina Berto (MBTO) Capai Pertumbuhan Kinerja Hingga 20% pada 2026

Dorongan Kebijakan dan Insentif

Fajar menilai, kehadiran pabrik baru perlu diikuti dengan dukungan kebijakan pemerintah agar investasi di sektor kimia semakin menarik.

Bentuk dukungan yang dibutuhkan antara lain insentif perpajakan serta percepatan penerapan teknologi baru dalam proses produksi.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya tata niaga yang adil antara produk lokal dan impor.

“Pemerintah harus memastikan keberpihakan yang adil (fairness) bagi seluruh pelaku industri, baik di sektor hulu maupun hilir,” tandasnya.

Selanjutnya: Penerapan Etanol E10, Diprediksi Dapat Tekan Konsumsi BBM 4,2 Juta Kiloliter

Menarik Dibaca: 9 Daftar Jus Penambah Berat Badan, Jus Pisang Salah Satunya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×