kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Menata usaha restoran berwajah minimarket


Rabu, 05 September 2012 / 17:24 WIB
Menata usaha restoran berwajah minimarket
ILUSTRASI. The Con-Heartist, salah satu film Thailand bergenre romcom yang bisa Anda tonton saat weekend


Reporter: Andri Indradie, Sofyan Nur Hidayat | Editor: Imanuel Alexander

Pemerintah mempersoalkan perizinan pemegang lisensi 7-Eleven dan Lawson. Alasannya, antara izin dan praktik usaha ada ketidaksesuaian. Bagaimana sikap pebisnis dan apa latar belakang pemerintah keberatan atas bisnis usaha mereka?

Tak bisa dipungkiri, bisnis convenience store berikut tempat kongko dan dagangan makanan dan minuman siap saji benar-benar booming? di Jakarta. Lihat saja pertumbuhan gerai 7-Eleven yang dikembangkan oleh PT Modern International sejak tahun 2009 dan Lawson oleh PT Midi Utama Indonesia yang pesat.

Selain dua brand asing tersebut, sempat muncul pula Orange Mart, convenience store lokal yang dikembangkan PT Ramayana Lestari Sentosa. “Tapi, sekarang, Orange Mart sudah tidak ada. Kami berhenti,” tutur Suryanto, Direktur Keuangan Ramayana.

Seperti biasa, apa yang booming pasti juga tak lepas dari sorotan. Penuh kontroversi saat awal pendirian, format bisnis convenience store seperti 7-Eleven dan Lawson terus menuai tudingan. Beberapa pekan lalu, pemerintah bahkan memberi peringatan pada dua perusahaan itu terkait perizinan yang mereka pegang.

Menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, peringatan dilayangkan lantaran 7-Eleven dan Lawson, yang memiliki izin restoran/kafetaria dari Kementerian Pariwisata, pada praktiknya juga menjual produk ritel secara bersamaan. Bulan ini, pemerintah bertekad bakal menertibkan. “Mereka tidak boleh menjual produk ritel. Harusnya, mereka hanya menjual makanan sesuai dengan izin yang diperoleh,” tutur Gita.

Untuk bisa menjual produk ritel, lanjut Gita, 7-Eleven dan Lawson harus mengantongi izin dari Kementerian Perdagangan. Nah, rencana penertiban ini sejalan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 53/M-Dag/Per/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba yang diteken 24 Agustus 2012. Dasar teguran itu terutama terkait soal jenis dan izin usaha yang dimiliki, termasuk barang yang dijual.

Menurut pemerintah, kalau 7-Eleven dan Lawson punya izin restoran, mereka tidak boleh menjual barang-barang di luar yang sesuai izinnya lebih dari 10%. Kegiatannya pun harus sesuai dengan izinnya, yaitu restoran. Dalam hal ini, kegiatan jasa yang memproduksi makanan dan minuman di gerai.

Pasrah dan mendukung

Bagaimana tanggapan para pebisnis yang memegang lisensi convenience store itu? Tentu saja, tak ada yang berani melawan pemerintah sebagai regulator. Pada prinsipnya mereka mendukung dan berniat datang ke Kementerian Perdagangan untuk “mohon arahan”.

Apakah akan mengubah format bisnis atau perubahan target? Mereka juga mengaku belum punya jawaban. “Sebab, kami juga harus perlu mengkajinya terlebih dahulu dan diskusi dengan kementerian,” ujar Yogi Kresno, Sales & Promotion Manager PT Midi Utama Indonesia kepada KONTAN.

Lawson mengaku, izin restoran hanya diperoleh di Jakarta lantaran izin minimarket atau convenience store tak bisa diperoleh. Tapi di Bekasi, Lawson memperoleh izin minimarket. Setelah masalah izin ini selesai, mereka tetap meneruskan usaha sesuai izin yang diperolehnya saat ini dan tetap meneruskan hak paten waralaba yang diperoleh. “Tapi, tetap sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia,” kata Yogi.

Neneng Sri Mulyati, Marketing and PR Manager 7-Eleven, juga menegaskan pihaknya tetap akan menjalankan bisnis seperti sebelumnya: menjual makanan dan minuman siap saji. “Barang-barang ritel mungkin kurang dari 10%. Itu pun sangat spesifik dan sifatnya urgent bagi konsumen. Di 7-Eleven, kami menjual makanan dan minuman,” tutur Neneng.

Utomo Njoto, pengamat waralaba dari Franchise Technology berpendapat, yang menjadi persoalan sekarang ini sebenarnya 7-Eleven dan Lawson itu dianggap sebagai minimarket alias convenience store tapi bermuka kafetaria. “Kenapa tidak berpikir mereka itu restoran yang ada swalayannya atau berwajah minimarket?”

Menurut Utomo, sebenarnya awal masalahnya menyangkut pendaftaran, pengawasan, dan pembinaan toko modern yang ada di Jakarta. “Ingat, dulu ada moratorium minimarket di Jakarta,” ungkapnya.

Pada masa itu, lantaran izin mendirikan minimarket tidak dikeluarkan, kedua waralaba baru itu mengurus izin restoran. Masalahnya, lanjut Utomo, kalau masalah ada pada perizinan, seharusnya tak perlu mengaitkan ke bisnis waralaba. Karena itu, Utomo menganggap, aturan waralaba pemerintah ini tidak masuk akal. “Ada pembatasan kepemilikan, ada kewajiban ini-itu tentang franchise. Lantas, soal alasan UKM juga terlalu bersifat politis,” tegasnya.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Gunaryo, menegaskan pemerintah hanya ingin kejelasan dalam bisnis.

“Dia harus kembali ke format awal, izinnya yang mana. Kita hormati mereka masuk, tapi silakan dipilih format bisnisnya, jangan abu-abu,” tandasnya.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×