Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Kebijakan yang bertujuan mengurangi pemborosan anggaran ini mencakup pemangkasan belanja operasional dan non-operasional pemerintah, termasuk perjalanan dinas, pembangunan infrastruktur, dan pengadaan peralatan.
Namun, langkah ini memunculkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap sektor-sektor yang sangat bergantung pada kegiatan pemerintah, khususnya industri hotel dan restoran.
Maulana Yusran, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), menilai bahwa dampak pemangkasan belanja pemerintah yang sudah diterapkan pada 2024 sudah terasa, meski belum sepenuhnya tercatat dalam data pertumbuhan sektor hotel dan restoran.
Pembatalan berbagai kegiatan dan pengurangan anggaran perjalanan dinas pemerintah telah mengurangi okupansi hotel dan transaksi di restoran. "Banyak kegiatan pemerintah yang dibatalkan atau dikurangi, ini jelas berimbas pada sektor kami," ujar Maulana saat dihubungi KONTAN, Jumat (24/1).
Baca Juga: BYD Mendominasi Lahan Industri Milik Surya Semesta (SSIA)
Pada 2024, pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan kegiatan pemerintah di berbagai daerah menyebabkan penurunan aktivitas yang signifikan. Banyak hotel dan restoran yang tergantung pada acara pemerintah, baik itu seminar, konferensi, atau kegiatan lainnya, yang terpaksa dibatalkan.
Menurut Maulana, kontribusi sektor pemerintah terhadap pendapatan hotel dan restoran di beberapa daerah bisa mencapai 40-60%, bahkan di beberapa daerah kurang berkembang, angka ini bisa lebih tinggi lagi.
Bagi industri perhotelan, kebijakan efisiensi yang lebih intensif pada 2025 berpotensi memperburuk kondisi. Maulana memprediksi penurunan okupansi hotel di berbagai daerah akan sangat terasa, terutama di luar Pulau Jawa, yang sangat bergantung pada kegiatan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian daerah.
"Jika kebijakan ini terus berlanjut, kami memperkirakan penurunan okupansi bisa mencapai 20% atau lebih," jelasnya. Penurunan okupansi otomatis berdampak pada penurunan pendapatan (revenue) hotel dan restoran.
Kata dia, hotel-hotel yang biasa mengandalkan kegiatan pemerintah, seperti perjalanan dinas atau konferensi, akan mengalami kesulitan, terutama yang berlokasi di daerah-daerah dengan ketergantungan tinggi terhadap transfer pusat.
Di Bali, misalnya, meskipun sektor pariwisata memiliki kontribusi besar, kegiatan pemerintah pusat seperti konferensi dan event-event lainnya tetap berperan penting dalam mendongkrak okupansi hotel. Tanpa adanya kegiatan pemerintah, daerah-daerah yang bergantung pada sektor ini akan merasakan dampak signifikan.
Selain hotel dan restoran, sektor UMKM di daerah juga turut merasakan dampaknya. Kegiatan pemerintah yang dibatasi akan mengurangi perputaran ekonomi yang selama ini melibatkan berbagai sektor seperti kuliner, transportasi, dan barang-barang konsumsi lainnya.
Sebagian besar daerah di Indonesia mengandalkan sektor pergerakan orang, yang terutama didorong oleh kegiatan pemerintah untuk merangsang ekonomi lokal.
"Seperti di Palangkaraya, kontribusi kegiatan pemerintah terhadap ekonomi daerah bisa mencapai 70%. Tanpa itu, ekonomi daerah akan sangat terganggu," jelas Maulana.
Menghadapi tantangan ini, pelaku bisnis hotel dan restoran akan terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran untuk bertahan. Pengurangan SDM dan efisiensi operasional akan menjadi langkah utama untuk menanggulangi penurunan pendapatan.
Namun, Maulana menekankan bahwa meskipun efisiensi diperlukan, jika pasar tidak bergerak, dampaknya akan sangat merugikan.
“Jika pasar ditahan seperti ini, hotel-hotel dan restoran bisa gulung tikar. Kami berharap ada kebijakan yang lebih bijak dari pemerintah untuk menyeimbangkan antara efisiensi anggaran dan keberlangsungan ekonomi daerah,” sambungnya.
PHRI menyadari niat baik pemerintah dalam menghemat anggaran, namun mereka berharap agar kebijakan ini tidak merugikan sektor-sektor yang vital untuk ekonomi daerah.
Maulana menekankan bahwa kegiatan pemerintah, seperti perjalanan dinas dan acara yang melibatkan hotel dan restoran, bukan hanya untuk sektor tersebut, tapi juga untuk membuka lapangan pekerjaan dan menggerakkan ekonomi lokal.
“Pemerintah harus memahami bahwa kegiatan itu bukan hanya pengeluaran, tapi stimulus ekonomi yang sangat diperlukan oleh daerah-daerah. Oleh karena itu, kami berharap kebijakan ini bisa lebih mempertimbangkan sektor-sektor yang sangat bergantung pada kegiatan pemerintah,” ujarnya.
Lebih lanjut, PHRI mengusulkan agar kebijakan efisiensi belanja tidak mengorbankan sektor-sektor yang berperan penting dalam memicu ekonomi lokal, seperti pariwisata dan UMKM.
Pemerintah, menurut PHRI, sebaiknya memfokuskan upaya efisiensi pada pengurangan kebocoran anggaran, bukan pada pembatasan kegiatan yang justru berfungsi sebagai stimulan ekonomi.
Berdasarkan analisis PHRI, kebijakan efisiensi yang melibatkan pemangkasan anggaran untuk perjalanan dinas dan kegiatan pemerintah diperkirakan akan memberikan dampak lebih besar pada pendapatan hotel dan restoran di daerah-daerah yang sangat bergantung pada kegiatan pemerintah.
Penurunan okupansi dan pendapatan di sektor ini diprediksi bisa mencapai penurunan signifikan, terutama di luar Pulau Jawa yang lebih bergantung pada transfer pusat dan pergerakan yang didorong oleh kegiatan pemerintah.
"PHRI berharap agar kebijakan ini dapat ditinjau kembali untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan yang menyokong perekonomian daerah tetap dipertahankan, sembari tetap menjaga efisiensi anggaran negara," pungkasnya.
Baca Juga: Surya Semesta Internusa (SSIA) Targetkan Pendapatan Naik 8% di Tahun 2025
Selanjutnya: Apa Arti Xin Nian Kuan Le? Makna, Tujuan, dan Cara Balas Ucapan Tahun Baru Imlek
Menarik Dibaca: Hujan Lebat dan Petir di Daerah Ini, Simak Prakiraan Cuaca Besok (25/1) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News