Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sistem kelistrikan Indonesia bakal kedatangan beberapa pembangkit baru tahun ini.
Executive Vice President Komunikasi Korporat & TJSL PLN, Gregorius Adi Trianto, mengatakan bahwa sejumlah pembangkit dengan total kapasitas 2.260 megawatt (MW) dari sejumlah pembangkit yang direncanakan beroperasi komersial tahun ini menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
“Sesuai RUPTL 2021-2030 juga, terdapat pembangkit berkapasitas total 2.260 MW yang direncanakan akan beroperasi secara komersial pada 2024,” ujar Gregorius kepada Kontan.co.id, Jumat (5/1/2024).
Baca Juga: BPH Migas Catat Konsumsi Energi Nataru 2023-2024 Melonjak Signifikan
Mengintip dokumen RUPTL 2021-2030, sejumlah pembangkit memang dijadwalkan memasuki tahapan commercial operation date (COD) tahun ini. Beberapa di antaranya yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) MT Sumbagsel-1 berkapasitas 2x150,0 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Banten (100 MW), Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) Ijen (FTP2) 55 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Lombok 2 2x50 MW (COD 2024/2025), dan lain-lain.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Gatrik) Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu, mengatakan bahwa rencana pengoperasian pembangkit-pembangkit baru telah dihitung dengan matang.
Pengoperasiannya dilakukan dalam rangka menopang target pertumbuhan ekonomi nasional.
“Dalam RUPTL telah diproyeksikan kebutuhan tenaga listrik tahun 2024 akan tumbuh sekitar 5,5%,” kata Jisman saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (8/1/2024).
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa tenaga listrik dari pembangkit-pembangkit baru dibutuhkan untuk memasok kebutuhan semua sektor konsumen mulai dari rumah tangga, bisnis, publik, dan industri.
“Sektor industri hilirisasi mineral yang berkembang sangat pesat belakangan ini sudah menunggu tambahan pasokan dari pembangkit-pembangkit baru,” tandas Jisman.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, memastikan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah langkah dalam menindaklanjuti pengoperasian sejumlah pembangkit baru.
Salah satunya, Kementerian ESDM bersama PLN bakal terus memastikan penyediaan listrik yang andal dengan meningkatkan kapasitas dari gardu induk.
Dengan begitu, listrik yang diproduksi dapat tersalurkan ke jaringan distribusi. “Upaya lainnya adalah dengan mendorong penggunaan listrik PLN di industri, hal ini juga dapat menurunkan beban polusi. Peningkatan transmisi juga terus dilakukan,” imbuh Dadan saat dihubungi Kontan.co.id (5/1/2024).
Direktur Energy Shift institute, Putra Adhiguna, mengatakan bahwa peningkatan konsumsi listrik untuk mengantisipasi risiko masalah kelebihan pasokan listrik alias oversupply listrik bisa dilakukan lewat sejumlah langkah.
Beberapa di antaranya lewat penyambungan kawasan industri dengan jaringan PLN serta berbagai program elektrifikasi, utamanya untuk menggeser penggunaan bahan bakar lain seperti BBM, LPG.
“PLN tentu juga dapat mempertimbangkan apakah perlu mempertahankan sebagian PLTU mereka yang sudah tua dan tidak efisien,” kata Putra.
Baca Juga: Investasi EBT pada Tahun Ini Diprediksi Lebih Besar Dibanding 2023
Persoalan over supply listrik
Sebelumnya, sistem kelistrikan nasional masih dilanda persoalan kelebihan pasokan listrik alias oversupply. Per 31 Januari 2023 lalu, tingkat oversupply listrik mencapai 40% itu atau setara 6 GW berdasarkan data pihak Direktorat Jenderal (Ditjen) Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.
Dalam catatan Kontan.co.id, hal ini pernah diutarakan oleh Dadan Kusdiana saat masih menjabat sebagai Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM dulu.
“Bervariasi untuk setiap wilayahnya dan setiap bulan berubah tergantung pembangkit yang masuk. Tapi saat ini di angka 40%, itu 6 GW," kata Dadan yang kala itu menjabat sebagai Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM saat ditemui di Gedung Direktorat Ketenagalistrikan, Selasa (31/1/2023).
Persoalan oversupply listrik pernah beberapa kali menjadi perhatian di ‘Senayan’, termasuk salah satunya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR RI dengan Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, pada Rabu (8/2/2023).
Biang kerok dari persoalan oversupply listrik sendiri adalah asumsi pertumbuhan konsumsi listrik yang meleset. Mengutip penjelasan Darmawan dalam RDP 8 Februari 2023 lalu, pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan beberapa waktu belakangan didasarkan pada asumsi pertumbuhan listrik yang dicanangkan tahun 2015 silam. Kala itu, asumsi pertumbuhan konsumsi listrik diproyeksikan sebesar 7%-8% di pulau Jawa.
Hitungan tersebut didasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi 6,1%. Sebab, berdasarkan data historis PLN, pertumbuhan permintaan listrik biasanya setara 1,3 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi.
Dengan hitungan asumsi pertumbuhan 7%-8%, permintaan listrik di tahun 2023 diperkirakan mencapai 380 TWh, jauh melampaui realisasi tahun 2022 yang berjumlah 270,82 TWh. Sayangnya, asumsi tersebut dalam perkembangannya meleset di beberapa tahun terakhir.
“Selama 5 tahun kemarin di Jawa korelasinya turun dari 1,3 menjadi 0,87. Jadi kalau 1% pertumbuhan ekonomi maka pertumbuhan demand-nya hanya 0,86%, kemudian pertumbuhan ekonomi (juga) terkoreksi dari 6,1% rata-rata menjadi 5,1%,” terang Darmawan dalam RDP (8/2/2023).
Persoalan oversupply sendiri sejatinya membebani keuangan PLN. Sebab, dalam kontrak jual beli listrik dengan IPP, PLN dikenakan skema "take or pay" (TOP). Singkatnya, PLN harus mengambil pasokan listrik dari IPP sesuai dengan jumlah yang tertuang dalam kontrak atau bila tidak sesuai kontrak maka PLN akan dikenakan penalti.
Dalam tulisan akademik berjudul Menyiasati Oversupply PLN terbitan Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI, Analis Legislatif Ahli Madya, Dewi Wuryandani, menulis bahwa beban over capacity PLN per 1 GW bisa mencapai Rp 2-3 triliun. Hal ini lantaran jumlah kontrak take or pay dalam kontrak-kontrak PLN yang mencapai 80%.
“Kontrak antara PLN dan IPP ini tidak wajar karena beban risikonya ke PLN semua, sementara PLN sendiri sudah menanggung risiko harga energi primer,” tulis Dewi dalam jurnal yang terbit di pekan kedua Februari 2023 tersebut.
Baca Juga: PLN Ungkap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik EBT Masih Mahal
Kendati demikian, PLN bukannya diam saja menyikapi persoalan ini. Beberapa ikhtiar telah dilakukan. Beberapa di antaranya yakni mengurangi take or pay. Hasilnya, PLN berhasil menekan TOP sebesar Rp 37,21 triliun di tahun 2021, lalu Rp 9,83 triliun di tahun 2022. Dus, total penghematan hasil pengurangan TOP yang PLN lakukan selama 2021-2022 mencapai Rp 47,05 triliun.
Di sisi lain, PLN juga melakukan sinkronisasi antara penambahan energi terbarukan dalam sistem kelistrikan. Target PLN, kondisi over supply kelistrikan bisa diselesaikan di tahun 2025-2026. Mulanya, persoalan oversupply listrik diperkirakan baru bisa diatasi pada 2029-2030.
Target ini pernah diungkapkan oleh Darmawan dalam RDP antara Komisi VII dengan Dirjen Gatrik dan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM 15 November 2023 lalu.
“Kondisi oversupply dan penambahan energi baru terbarukan ini sudah berhasil kami sinkronkan, sehingga pada waktu nanti EBT dalam skala besar yang masuk (ke sistem kelistrikan) sebenarnya kondisi oversupply itu sudah bisa diselesaikan di tahun 2025-2026 dari semula perkiraan awal baru bisa diselesaikan di tahun 2029-2030,” ungkap Darmawan dalam RDP (15/11/2023).
Selanjutnya: Promo Bahan Bakar Kendaraan, Wajib Pertimbangkan Sebelum Mencobanya
Menarik Dibaca: Promo Bahan Bakar Kendaraan, Wajib Pertimbangkan Sebelum Mencobanya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News