kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menteri Arifin masifkan PLTS Rooftop, Guru Besar UI khawatir sistem PLN blackout


Sabtu, 14 Agustus 2021 / 19:41 WIB
Menteri Arifin masifkan PLTS Rooftop, Guru Besar UI khawatir sistem PLN blackout
ILUSTRASI. Pemasangan panel listrik tenaga surya produksi?PT Surya Utama Nuansa (SUN Energy).


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Dengan revisi ini Kementerian ESDM berharap pengemgangan PLTS Atap akan massif dan bisa memenuhi target bauran EBT bisa 23% pada 2025.

Informasi yang sampai ke KONTAN, saat ini peraturan tersebut sudah sampai di meja Kementerian Hukum dan HAM untuk di harmonisasi dengan peraturan lain. Beberapa pakar kelistrikan telah dipanggil Kemenkumham dan Kementerian ESDM untuk memnberikan tanggapan atas regulasi baru itu.

Bocorannya, dalam isi Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyebutkan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan menjadi 100% atau naik 35% dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65%. Artinya, PLN harus membeli 100% listrik PLTS atap yang dipasang masyarakat.

Sayangnya, KONTAN belum mendapatkan draf regulasi itu. Iwa Garniwa,  Guru Besar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia, mengungkapkan jika melihat data statistik, Indonesia hanya menyumbang emisi 1,8%, China 2,8% dan Jepang 3,3%. Bahkan Amerika Serikat menyumbang emisi hingga 14,5%. Artinya, Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang mengotori langit dunia. 

Fakta kedua, sebanyak 68% pembangkit atau bahan baku pembangkit di Indonesia masih menggunakan batu bara yang harga jual listriknya termurah. Dari dua fakta ini Iwa menyarankan kita tidak boleh terburu-buru dan terlalu massif. “Kita selalu membandingkan dengan negara, ini bukan pertandingan," ujar Iwa, Jumat (13/8).

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terus menekan energi berbasis fosil dari tahun ke tahun dengan mendorong secara masif peningkatan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengejar target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada 2025. 

Iwa mengingatkan tujuan dari energi untuk masyarakat adalah mendapatkan akses dan harga yang terjangkau. Sedangkan dari sisi PLN, listrik harus beroperasi dengan handal, berkualitas baik, dan ekonomis. "Jadi sekarang kita masuk green energy. Green energy ini ndilalah mahal," katanya.

Lalu muncul soal PLTS Atap yang murah dan didorong untuk secara masif perkembangannya. Namun PLTS Atap bersifat intermitend atau tidak bisa berdiri sendiri. "Saya kasih contoh, jika tiba-tiba awan lewat pasokan turun ke sistem. Lalu siapa yang memikul itu?" imbuh dia.

Menurut Iwa, sumber energi dari EBT yang memikul beban kelistrikan di sistem PLN bervariasi, mulai dari PLTA, PLTP, hingga biomassa. Dari sisi itu bauran energi nasional harus kuat. "Saya melihatnya begini, kita itu kebiasaan ingin gampang tidak smart. Paling gampang kan beli PV," ungkap dia.

Iwa menambahkan, masuknya PLTS Atap secara massif jangan melupakan keberadaan PLN sebagai aset negara yang harus dijaga. Saat Photovoltic (PV) memakai pemikulnya PLN, maka akan ada batasan, baik batasan menyangkut keandalan maupun batasan dari sisi harga. 

Di Indonesia itu ada 22 sistem, masing-masing sistem harus ada dibuat grid operasi. Karena itu, menurut guru besar teknik elektro Universitas Indonesia,  harus dihitung berapa persen yang intermiten masuk dalam sistem agar memenuhi operasi yang handal, kualitas bagus dan mutu baik. 

“Tidak bisa pokoknya EBT sebanyak-banyaknya. Tidak peduli terhadap hal itu barangkali pemutus kebijakan, Kok seperti tidak paham situasi,” tegas Iwa yang kini juga menjabat sebagai Rektor Institut Teknologi PLN

Menurut dia, seolah-olah mau sebanyak-banyaknya dan didukung kemudahan dalam membeli panel listrik, namun tidak melihat dampaknya, yakni biaya pokok produksi PLN. Bayangkan jika di suatu komplek perumahan, 50% menggunakan rooftop tanpa baterai. Sementara PLN untuk menaruh gardu distribusi menghitung BPP. 

“Berapa investasinya dan berapa harapan KWh yang dijual? Lalu 50% tadi memakai PLTS rooftop, energinya diambil. BPP-nya kan mahal, lebih parah dipaksa beli. Ini apa yang terjadi,” kata Iwa.

Sebelumya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, pada hari ini Jumat (13/8), bersama Menteri Pendidikan, Kebudayanan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim meluncurkan program baru bernama Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya) sebagai bagian dari implementasi metode pembelajaran Merdeka Belajar Kampus Merdeka.

Program ini ditujukan khusus kepada mahasiswa aktif jenjang sarjana (S-1) dan vokasi eksakta guna membantu mengoptimalkan penggunaaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di masyarakat dan mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23% di tahun 2025.

"Program Gerilya akan melahirkan aktivis energi bersih dari generasi muda, yang turut mempercepat pemanfaatan solar rooftop dan mendukung pencapain target bauran EBT sebesar 23% di tahun 2025," kata Arifin dalam acara launching Program GERILYA secara virtual.

Arifin mengungkapkan, pelaksanaan program Gerilya merupakan salah satu bagian dari proses menuju transisi energi bersih dimana potensi PLTS punya peluang besar untuk diimpelementasikan. "Dari berbagai jenis EBT, PLTS akan lebih didorong dan mendominasi, mengingat potensinya paling besar dan harganya semakin murah," ungkapnya.

Dari sisi biaya investasi, pemerintah menilai PLTS mengalami penurunan cukup signifikan dan memiliki daya saing investasi yang cukup kompetitif. 

"Di Indonesia, dapat dilihat pada PLTS terapung Cirata 145 Mega Watt (MW) yang merupakan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, dengan harga jual listrik sekitar 5,8 sen dolar per kWh," jelas Arifin.

Saat ini, kapasitas terpasang solar rooftop, sambung Arifin, tercatat hanya 31 MW dari total potensi sekitar 32 Giga Watt (GW) baik di Rumah Tangga, Bisnis, Industri, Sosial maupun di Gedung Pemerintah dan BUMN. 

"Kami sedang menyempurnakan regulasi solar rooftop agar lebih menarik. Makanya, kami optimis pemanfaatan solar rooftop dapat dipercepat. Untuk itu, dibutuhkan peran aktif semua pihak, tak terkecuali mahasiswa dan generasi muda," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×