kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meski ada persoalan lingkungan, Inalum yakin pembiayaan divestasi sesuai target


Jumat, 19 Oktober 2018 / 18:00 WIB
Meski ada persoalan lingkungan, Inalum yakin pembiayaan divestasi sesuai target
ILUSTRASI. DIVESTASI SAHAM PT FREEPORT


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kendati sales and purchase agreement (SPA) telah ditandatangi pada 27 September 2018, namun PT Indonesia Asahan Aluminum (Inalum) masih belum sah menggenggam 51% saham di PT Freeport Indonesia (PT FI). Pendanaan menjadi kunci agar proses divestasi ini bisa usai.

Inalum harus membayar sebesar US$ 3,85 miliar untuk bisa memiliki saham mayoritas di PTFI. Untuk menyiapkan dana sebesar itu, Inalum mencari pembiayaan dari sindikasi perbankan.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin bilang, ada delapan bank asing yang akan memberikan pinjaman. Namun, seperti kata Budi setelah menandatangi SPA, ia mengaku belum bisa memberikan penjelasaan yang terperinci tentang pinjaman dari perbankan asing ini. “Kita nggak bisa kasih tahu sekarang sampai transaksinya selesai,” ujarnya.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu (17/10) lalu, Budi meyakinkan bahwa tidak ada bank dari negara China dalam sindikasi perbankan tersebut. Ia pun mengungkapkan alasan mengapa yang tidak ada bank lokal dalam sindikasi tersebut. “Kenapa tidak ada perbankan dari dalam negeri? Karena supaya tidak ada uang yang keluar,” ujarnya.

Namun, menurut Budi, ada sejumlah kondisi yang harus dipenuhi agar delapan bank asing tersebut mau mencairkan pinjamannya. Salah satunya ialah soal penyelesaian masalah lingkungan yang dihadapkan pada PT FI.

“Nggak mungkin uang ke luar kalau isu ini nggak selesai. Akan sulit kita mendapatkan pendanaan dari institusi internasional. Jika bank tidak mencairkan pembiayaan, transaksi tidak terjadi,” jelas Budi.

Pasalnya, dalam forum tersebut, Komisi VII DPR RI mempersoalkan tentang temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan angka sebesar Rp. 185 triliun sebagai jasa potensi ekosistem yang hilang akibat aktivitas penambangan PT FI. 

Terlebih, menurut Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu, ada juga temuan BPK yang mengungkapkan bahwa PT FI memakai kawasan hutan lindung tanpa adanya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 4.535,93 hektare.

“Ekosistem yang rusak, kalau direhabilitasi, dirupiahkan pada saat audit dilaksanakan dua tahun lalu, itu sebesar Rp. 185 triliun. (Untuk pemakaian kawasan hutan lindung tanpa IPPKH), sudah berlangsung delapan tahun. BPK menghitung, kalau itu tanpa izin, potensi kerugian negara untuk PNBP itu hitungannnya Rp. 33 miliar lebih per tahun,” ungkap Gus Irawan.

Menurutnya, hasil temuan BPK ini bersifat mengikat, dan harus dijalankan. Karenanya, Gus menyebut, pihaknya mendorong agar persoalan lingkungan ini diselesaikan lebih dulu sebelum transaksi divestasi dilakukan. 

“Temuan BPK itu final and binding. Kami simpulkan dalam rapat hari ini, bahwa pembayaran divestasi itu dilakukan setelah soal lingkungan ini diselesaikan,” ujarnya.

Namun demikian, Budi tetap yakin, tahapan divestasi ini bisa usai pada bulan Desember tahun ini. Sambil menunggu pencairan dana pinjaman itu, Budi menjelaskan, dalam rentang bulan Oktober hingga Desember 2018 ini, ada sejumlah hal yang masih perlu diselesaikan.

Yakni soal penyelesaian isu lingkungan yang nantinya akan dilampirkan dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), persetujuan atas perubahan anggaran dasar PTFI, dan kelengkapan administrasi berupa perizinan yang perlu diperoleh FCX. Yaitu berupa pelaporan persaingan usaha (anti-trust filing) di lima negara, yakni Republik Rakyat Tiongkok, Indonesia, Jepang, Filipina dan Korea Selatan. Dimana kesemuanya harus selesai sebelum Desember.

“Iya. Dalam wewenang kita itu hanya transaksi payment-nya saja, yang lainnya itu antara freeport dan lembaga-lembaga negara yang lainnya. Kalau kita sekarang posisinya sangat yakin bahwa (pendanaan itu) bisa kita peroleh,” jelasnya.

Lebih lanjut, Head of Corporate Communications Inalum Rendi A. Witular berujar, pihaknya sangat optimistis pendanaan itu akan bisa cair sesuai target tanpa hambatan. Bahkan ia mengklaim, adanya penandatanganan antara Inalum dan Freeport-McMoran (FCX) menjadi bukti bahwa komitmen pendanaan itu sudah ada.

“Kalau FCX aja mau tanda tangan sama kita, berarti kan FCX yakin kita dapat pendanaan. Kalau waktu itu Inalum belum dapat komitmen pendanan, ya mana berani kita teken, reputasi kita bisa rusak dong,” kata Rendi kepada Kontan.co.id, Jum’at (19/10).

Menurut Rendi, pembiayaan lewat perbankan ini adalah opsi yang dipilih karena dinilai sebagai cara pembiayaan yang paling murah. “Opsi-nya kan ada dari perbankan, ada juga dari bond. Nah, kan kita lihat-lihat nih mana yang menguntungkan, kita cari pembiayaan yang murah,” jelasnya.

Sebelumnya, Rendi juga bilang, pemilihan sejumlah bank asing tersebut juga mempertimbangkan soal upaya menjaga stabilitas kurs rupiah, dan bunga yang lebih kompetitif. Ia pun mengklaim, bahwa tidak ada jaminan aset atau saham Inalum di dalam pinjaman ini. “Tidak ada yang dijadikan jaminan, karena pemberi pinjaman tahu kalau bisnis Freeport mengungtungkan,” katanya.

Namun, Rendi tidak menjelaskan apakah pihaknya memiliki opsi pendanaan lain jika pembiayaan dari bank ini menemui hambatan. Ia juga mengungkapkan, bahwa pihaknya tak memiliki opsi untuk merogoh kocek dari anggota holding industri pertambangan lainnya, yakni PT Bukit Asam, Aneka Tambang dan PT Timah. “Nggak ada andai-andai terhambat. Nggak ada opsi ngambil (dari anggota holding) segalam macam,” jelasnya.

Sementara selepas penandatangan SPA lalu, saat ditanya wartawan, Budi Gunadi menyebut bahwa jika dibutuhkan, bisa saja memakai kas internal Inalum sekitar US$ 1,5 miliar. “Kita bisa penuhi dari bantuan keuangan. Kalau dibutuhkan kita bisa pakai. Kita punya kas internal mendekati US$ 1,5 miliar,” kata Budi.

Di sisi lain, dari pinjaman sebesar US$ 3,85 miliar itu, Rendi menjelaskan bahwa Inalum akan memberikan pinjaman sebesar US$ 900 juta kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Papua. Dana itu diperuntukkan sebagai pembayaran bagi 10% saham Pemda Papua yang diambil dari 51% saham Inalum setelah divestasi terealisasi.

Soal pelunasannya, Rendi menyebut itu akan dilakukan melalui cicilan yang diambil dari pembagian dividen yang nantinya akan diperoleh oleh Pemda Papua. Ia mengklaim, hal tersebut tidak akan memberatkan karena Inalum akan mengalokasikan dividen lebih banyak dari cicilannya. 

Namun, soal lama pengembalian, ia tak mau membeberkannya. “Cicilannya nanti tidak akan bebani pemda karena alokasi dividennya lebih banyak. Kami nggak mau semua dividen untuk bayar cicilan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×