kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

METI dan MKI meminta pembentukan badan khusus pengelola energi terbarukan


Kamis, 17 September 2020 / 16:25 WIB
METI dan MKI meminta pembentukan badan khusus pengelola energi terbarukan
ILUSTRASI. Energi Baru Terbarukan (EBT) panas bumi. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/foc.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi VII DPR RI mulai membahas secara intensif Rancangan Undang-Undangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Komisi VII pun menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU bersama Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) dan Koalisi Perempuan Indonesia, pada Kamis (17/9).

Ada sejumlah catatan dan masukan yang diberikan ketiga lembaga tersebut. Satu diantaranya ialah usulan untuk membentuk suatu badan pelaksana khusus yang mengelola energi terbarukan di Indonesia.

Ketua METI Surya Dharma terlebih dulu memaparkan bahwa undang-udang tentang energi terbarukan mendesak untuk diterbitkan. Pasalnya, pengembangan energi bersih di Indonesia saat ini menemui banyak hambatan. Masalah utamanya antara lain karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki payung hukum yang tegas dan secara khusus mengatur energi terbarukan.

Imbasnya, kepastian hukum dan investasi sering terganggu oleh regulasi yang berubah-ubah. Alhasil, pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional hingga kini masih mini, yakni sekitar 9% secara keseluruhan dan sekitar 14% khusus di sektor kelistrikan. Padahal, kebijakan energi nasional menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada tahun 2025.

Menurut Surya, salah satu sebab masih mininya capaian bauran energi terbarukan ialah kerena harga EBT masih mahal, hal itu sebagai akibat dari belum adanya kesungguhan pemerintah dalam memberikan kebijakan harga yang kompetitif bagi EBT.

"Juga tidak adanya ketetapan standar harga energi terbarukan dan tidak adanya level of playing field. Juga kevakuman peraturan perundangan untuk energi terbarukan," papar Surya dalam RDPU yang digelar Kamis (17/9).

Baca Juga: Ini strategi yang disiapkan pemerintah dalam pengembangan PLTS

Selain itu, persoalan lainnya adalah mekanisme yang dianggap tidak bankable sehingga tidak menarik bank nasional untuk mendanai proyak EBT. Padahal, imbuh Surya, pendanaan untuk pengembangan energi bersih sejatinya melimpah, namun belum bisa dioptimalkan oleh Indonesia.

"Sekarang kan banyak sekali, dana-dana ET itu nggak bisa kita manfaatkan. Karena mekanismenya banyak sekali faktor-faktor yang tidak relevan dengan itu," sebutnya.

Oleh sebab itu, METI meminta adanya pembentukan semacam Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPET) yang kelak diatur dalam UU EBT tersebut. "Perlu adanya badan khusus pengelola energi terbarukan, seabgai badan yang bertanggung jawab memiliki otoritas yang jelas dalam mengelola dan memiliki kewenangan pengelolaan dana," sambung Surya.

Guna mengoptimalkan keefektivitasannya, Surya menyarankan pembentukan BPET ini bisa dengan meleburkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). "Kita optimalkan dengan tugas tugas yang lebih detail dalam UU (EBT) ini," katanya.

Nantinya, BPET ini menjalankan sejumlah tugas. Diantaranya, menyediakan pembiayaan bagi pembangunan infrastriktur EBT, berfungsi sebagai penjamin investasi, mengelola dana keberlanjutan EBT, menetapkan besaran dan mekanisme dalam penerapan Feed in Tariff, serta mengimplementasikan target di dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Usulan serupa juga disampaikan oleh MKI. Sekretaris Jenderal MKI Andri Doni mengatakan, untuk mencapai target 23% pada tahun 2025 sesuai dengan komitmen Kesepakatan Paris, maka diperlukan akselerasi. Adanya badan khusus pengelola energi terbarukan dinilai dapat mendongkrak realisasi pemanfaatan EBT.

"Tidak bisa kita lakukan dengan business as ussual, harus ada akselerasi. Kita sarankan untuk dibentuk badan pelaksana. Bisa dibentuk baru, bisa memberdayakan badan yang sudah ada," katanya.

Dalam kesempatan berbeda, sejumlah asosiasi EBT juga mendorong adanya pembentukan badan khusus ini. Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa menilai, badan khusus ini bisa memegang tanggung jawab dalam perencanaan, pengelolaan dan pengendalian pelaksanaan EBT, termasuk dalam membentuk keberlanjutan pasar.

Namun, Andhika meminta agar Badan Pengelola ET itu harus bersifat independen dari Kementerian, namun terkoordinasi dengan Dewan Energi Nasional. "Dengan demikian lebih terkonsentrasikan tugas dan fungsinya dan lebih leluasa dalam bentindak," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (17/9).

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Panas Bumi Priyandaru Effendi. "Bagus kalo ada badan pengelola ET sebagai vehicle pemerintah dalam mengatasi perbedaan antara harga jual dan beli," ungkapnya.

Baca Juga: Dorong pemanfaatan energi surya, ini strategi yang disiapkan pemerintah

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta fungsi badan khusus pengelola EBT tersebut kembali dikaji dan diperjelas. "Apakah mirip seperti ARENA Australia atau SEDA di Malaysia atau SECI di India?  Tapi bisa saja pemerintah membuat badan seperti SECI untuk melakukan pengembangan project pipeline dan lelang proyek-proyek energi terbarukan, non-hydro dan panas bumi," jelasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan bahwa pihaknya akan menampung masukan tersebut. Kata dia, Komisi VII masih akan menggelar sejumlah RDPU untuk mendengar masukan dari stakeholders lainnya.

Saat ini, RUU EBT masuk ke dalam Program Legislasti Nasional (Prolegnas) tahun 2019-2024 dan menjadi Prolegnas Prioritas pada 2020 ini. Komisi VII telah menyusun draft RUU dan ditargetkan sudah final menjadi RUU EBT pada akhir tahun nanti, sehingga bisa segera dibahas bersama pemerintah.

"Banyak masukan yang sudah ada di dalam draft RUU. Tambahan yang diterima dalam RDPU akan dijadikan bahan kajian. Akhir tahun targetkan akan diajukan ke pemerintah," kata Eddy kepada Kontan.co.id, Kamis (17/9).

Selanjutnya: Genjot investasi EBT, Kementerian ESDM bakal buat regulasi tarif EBT

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×