Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Freeport Indonesia (PTFI) kembali buka-bukaan bahwa proyek smelter tembaga yang saat ini tengah dibangun merupakan proyek yang merugikan secara finansial.
Presiden Direktur PTFI Tony Wenas membeberkan, proses penambangan dimulai dari bijih yang kemudian diolah menjadi konsentrat tembaga. Nilai tambah dari pengolahan bijih ke konsentrat mencapai 95%.
Sementara itu, pengolahan dari konsentrat menjadi katoda tembaga yang dilakukan di smelter nilai tambahnya mini, yakni hanya 5%.
"Ya memang rugi, kalau proyek rugi saya bilang untung kan menyesatkan," kata Tony dalam webinar yang digelar Jum'at (4/9).
Baca Juga: Freeport Indonesia workers end protest over Covid-19 lockdown
Tony menjelaskan bahwa smelter akan mendapatkan pemasukan dari Treatment Charge and Refining Charge (TCRC). Saat ini, harga TCRC yang hampir berlaku di seluruh dunia berkisar di angka US$ 20 cent - US$ 24 cent per ton tembaga, yang nilainya itu tidak berubah dalam 20 tahun terakhir.
Namun pada awal Maret saat pandemi covid-19 merebak, harganya malah turun ke level US$ 18 cent per ton. Padahal dengan proyek smelter tembaga yang membutuhkan investasi US$ 3 miliar, Tony menghitung bahwa nilai TCRC agar layak secara keekonomian harus mencapai level US$ 60 cent per ton.
"Sedangkan kalau kita smelt di tempat lain, kan US$ 20 cent cukup. jadi akan ada selisih US$ 40 cent yang harus menjadi beban PTFI," ungkap Tony.
Jika dihitung, selisih tersebut bisa mencapai US$ 300 juta per tahun. Menghitung masa izin PTFI selama 20 tahun ke depan, maka secara kumulatif selisih itu akan menjadi sekitar US$ 6 miliar. "Ditambah dengan pembangunan sebesar US$ 3 miliar, kira-kira US$ 10 miliar," jelasnya.
Tony bilang, pihak yang paling dirugikan atas kondisi tersebut adalah PTFI bersama para pemegang saham. Termasuk holding tambang BUMN MIND ID atau Inalum yang memiliki saham mayoritas sebesar 51,2%.
Terlebih, serapan pasar di dalam negeri juga belum terbentuk. Tony memberikan gambaran, saat ini PTFI memiliki satu smelter tembaga, yakni PT Smelting dengan komposisi kepemilikan 20%.
Dari Smelting, ada sekitar 300.000 katoda tembaga yang diproduksi per tahun. Dari jumlah itu, hanya 50% atau sekitar 150.000 ton yang mampu diserap oleh pasar domestik.
Baca Juga: DPR Menolak Permohonan Pemunduran Target Pembangunan Smelter Freeport
Saat proyek smelter baru PTFI jadi, Tony berharap agar industri dalam negeri juga bisa tumbuh untuk menyerap produk yang dihasilkannya.
"Jadi kalau itu terus berlangsung (membangun smelter), dengan hasil 600.000 ton katoda tembaga, 100% akan diekspor. Kecuali industri hilirnya tumbuh pesat dalam waktu 4 tahun ke depan," imbuhnya.
Adapun terkait dengan progres pembangunan smelter, Tony mengungkapkan bahwa proses pengerjaan proyek smelter yang berlokasi di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur tersebut masih belum bergerak.
Dia berdalih, proses pengerjaan masih terhenti lantaran masih terhalang pandemi covid-19. "Secara fisik (pengerjaan proyek smelter) belum dilakukan kembali, karena masih ada pembatasn situasi covid," katanya.
Kendati begitu, ia mengklaim proses administratif seperti studi-studi dan detail design terus berlanjut.
Asal tahu saja, progres pembangunan smelter tembaga PTFI masih jauh di bawah target. Hingga Juli 2020, progres pembangunan smelter baru mencapai 5,86%, di bawah target yang telah ditetapkan sebesar 10,5%.
Dengan dalih kondisi pandemi ini, Tony pun tetap masih meminta agar jadwal pembangunan dan pengoperasian smelter bisa ditunda hingga satu tahun dari target. "Mundur 12 bulan," pintanya.
Meski pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM dan juga Komisi VII DPR RI sudah menyatakan penolakan untuk mengabulkan permohonan tersebut, tapi Tony masih berharap akan ada penyesuaian jadwal.
Baca Juga: Tolak penundaan smelter Freeport, Dirjen Mineba: Jangan menyerah sebelum kita mati!
PTFI, kata dia, masih bernegosiasi dan menunggu keputusan resmi Ditjen Minerba Kementerian ESDM. "Kami belum dapatkan jawaban dari pemerintah katanya ditolak atau apa. kami masih diskusi terus sama pemerintah," sambungnya.
Saat ditemui selepas Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, Kamis (3/9) kemarin, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menegaskan bahwa pembangunan smelter harus tetap dilakukan sesuai jadwal. "Tidak ada yang berubah, kerjakan terus," kata Ridwan.
Merujuk pada pemberitaan Kontan.co.id, sebelumnya Ridwan mendesak agar PTFI berupaya semaksimal mungkin untuk mengejar target yang sudah ditetapkan.
"Kita maunya gini lah, pokoknya jangan menyerah sebelum kita mati. Jadi kira-kira, jangan bilang nggak bisa, kerjakan semaksimal mungkin. Kalau sampai pada waktunya nggak bisa, mau gimana? tapi jangan sekarang bilang nggak bisa," kata Ridwan.
Penolakan yang disampaikan Ridwan sejalan dengan apa yang didesak oleh DPR RI. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno yang memimpin RDP itu menegaskan, pihaknya mendesak agar pembangunan smelter tetap dipatok sesuai target yang harus selesai paling lambat Desember 2023.
Komisi VII DPR pun meminta Ditjen Minerba Kementerian ESDM untuk tidak mengabulkan permohonan penundaan yang diajukan PTFI.
"Komisi VII DPR RI mendesak Dirjen Minerba Kementerian ESDM agar target pembangunan smelter pada tahun 2023 dapat dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh pelaku usaha, untuk itu pemerintah tidak memberikan relaksasi berupa penundaan pembangunan smelter PT Freeport Indonesia," kata Eddy membacakan kesimpulan RDP, Kamis (27/8).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News