kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Minyak Goreng Sempat Langka Dinilai Karena Kebijakan Pemerintah yang Inkonsisten


Sabtu, 17 September 2022 / 08:28 WIB
Minyak Goreng Sempat Langka Dinilai Karena Kebijakan Pemerintah yang Inkonsisten
ILUSTRASI. Warga?memilih minyak goreng kemasan pada gerai ritel modern di Gading Serpong, Tangerang.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah pemerintah mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dengan melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) dinilai kebijakan yang keliru. 

Apalagi pemerintah dinilai inkonsisten dalam menetapkan berbagai kebijakan, termasuk kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyebutkan,  gonta-ganti  kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah, berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.

Di sisi lain, bongkar pasang kebijakan  DMO dan DPO terbukti menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama.  

Baca Juga: Kelangkaan Stok, Harga Sembako Ini Bisa Makin Pedas

“DMO dan DPO ini adalah kebijakan destruktif yang menyebabkan turunnya ekspor. Penurunan ekspor itu menyebabkan turunnya pungutan pajak dan penerimaan negara, yang kemudian menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi. Ini tentu saja merugikan negara. DMO dan DPO itu tidak hanya merugikan pelaku usaha tetapi juga pemerintah karena penerimaan negara turun. Ini makin memperjelas pentingnya penghapusan kebijakan DMO dan DPO yang destruktif,” tutur Tungkot dalam keterangannya, Jumat (16/9). 

Hal senada juga diungkapkan oleh akademisi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha. Ia menyebutkan, DMO merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan agar ekspor CPO tercukupi. Namun, pemerintah tidak memiliki perhitungan yang detail sehingga DMO ini perhitungannya tidak jelas. 

“Kenaikan harga minyak goreng disebabkan harga CPO yang kuantitasnya meningkat sehingga dibutuhkan kebijakan DMO. Itu merupakan suatu kebijakan yang dibuat berdasarkan dugaan mengenai suatu masalah. Tetapi, apakah hipotesisnya itu benar? Karena apabila tidak sesuai ekspektasi, akan merugikan perekonomian bagi masyarakat,” tutur Ketua LPEM UI itu.

Oleh karena itu, ia merekomendasikan agar kebijakan ini dihapuskan karena akan berpengaruh ke pasokan dan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Ajukan Eksepsi, Bos Wilmar Sebut Jadi Korban Inkonsistensi Kebijakan Ekspor CPO

“Dari beberapa informasi, kelangkaan minyak goreng itu bukan disebabkan oleh tidak tersedianya CPO dalam negeri. Dengan demikian, pembatasan ekspor atau penghentian ekspor bukan merupakan kebijakan yang tepat,” ungkapnya.

Diketahui, kebijakan DMO dan DPO ini diterapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan selama lebih dari 6 bulan. Kebijakan non tariff barrier ini membatasi volume ekspor yang berimbas pada terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Sejak kebijakan DMO dan DPO diberlakukan, dampak yang paling dirasakan adalah permintaan tandan buah segar (TBS) turun dan petani sawit mengalami kesulitan menjual TBS.



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×