Reporter: Kiki Safitri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai ekspor minyak goreng tahun ini turun 28,19% dibanding tahun lalu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan ekspor minyak hasil olahan (didominasi minyak goreng) pada September tahun 2018 sebesar US$ 3,868 juta, naik 10,11% dibanding sebulan sebelumnya US$ 3,513 juta.
Sepanjang Januari-September 2018, total ekspor minyak hasil olahan mencapai US$ 24,630 juta, turun 28,19% dibanding periode sama tahun 2017 yang sebesar US$ 34,297 juta.
Meskipun nilai ekspor turun, namun volume ekspor naik, Hal ini disampaikan oleh Sinaga selaku Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
"Kita naik 6% (volume) dibandingkan tahun lalu atau naik di atas pencapaian tahun 2017. Cuma dalam nilai kan harga turun," ungkap Sahat kepada Kontan.co.id, Selasa (23/10).
Sahat menegaskan, penurunan nilai ekspor ini dipicu oleh harga soybean (kacang kedelai) yang juga turun.
Dilansir Bloomberg, harga Soybean di pasar global tertinggi pada 15 Oktober 2018 yakni US$ 8,91 per busel sedangakan harga saat ini adalah US$ 8,54 per busel atau mengalami penurunan 8,9 % untuk bursa Chicago Broad Of Trade (CBOT) pengiriman November 2018.
"Ini terpengaruh daripada harga jual soybean yang juga turun, tapi volumenya (impor soybean) naik," ungkapnya.
Sahat berharap ke depannya, pemerintah bisa melonggarkan bea keluar atau pungutan ekspor terhadap produk minyak goreng. Hal itu dibutuhkan untuk menangkal tren penurunan nilai ekspor minyak goreng.
"Nah kita harapkan perubahan dana pungutan itu. Kita sedang menunggu itu. Kita usulkan supaya dana pungutan untuk ekspor minyak goreng kemasan diturunkan dari US$ 20 ke US$ 2 per ton," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News