Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Isu perubahan iklim tak bisa diremehkan oleh siapapun. Pemerintah pun mulai menerapkan pajak karbon pada tahun depan. Para pelaku industri perlu mencermati dampak pengenaan pajak tersebut.
Aturan pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang ditetapkan 29 Oktober 2021 lalu. Dalam beleid itu, disebutkan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Adapun tarif pajak karbon yang ditetapkan pemerintah yakni sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen.
Baca Juga: Pajak karbon diberlakukan tahun 2022, biaya produksi industri tekstil berpotensi naik
Pajak karbon ini mulai diterapkan pada April 2022 mendatang. Sebagai tahap awal, pajak karbon dikenakan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara.
Kendati begitu, sejumlah sektor industri lain tampak mulai berhitung dampak yang diperoleh akibat pungutan pajak karbon. Salah satunya industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Ian Syarif, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyampaikan, industri tekstil jelas terdampak oleh aturan pajak karbon. Apalagi, industri tekstil merupakan pemakai batubara. Tanpa pajak karbon pun industri tekstil sudah tertekan oleh tren kenaikan harga komoditas tersebut. Efeknya, harga jual produk hilir seperti garmen ikut mengalami kenaikan.
API membuat perkiraan efek pengenaan pajak karbon terhadap biaya produksi industri TPT dari hulu hingga hilir.
Baca Juga: Pajak karbon berlaku di 2022, begini tanggapan para pelaku industri
Apabila pajak karbon direalisasikan, maka biaya produksi industri serat dapat naik 2%, kemudian industri pemintalan naik 1%, industri rajut dan tenun naik 1%, industri pencelupan dan finishing naik 5%, dan industri garmen naik 0,25%. Secara akumulasi, kenaikan biaya produksi pada industri TPT akibat pajak karbon mencapai 9,25%.
“Asosiasi mengharapkan diberikannya akses pasar supaya industri bisa menyerap kenaikan biaya ini,” imbuh Ian, Rabu (10/11).
Industri semen juga terkena dampak pajak karbon. Ini mengingat industri semen menjadi salah satu penghasil emisi karbon seiring konsumsi batubara yang cukup besar sebagai bahan bakar pembuatan produk semen.
Baca Juga: Potensi masih besar, Menteri ESDM undang investor jajaki bisnis EBT
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso menyadari, keberadaan pajak karbon membuat pelaku industri semen harus berinovasi dan mengambil langkah komprehensif dari segi produksi agar emisi gas rumah kaca berkurang.
Misalnya, industri semen dapat menggunakan bahan bakar alternatif pengganti batubara seperti biomassa, memanfaatkan gas buang di pabrik untuk memproduksi tenaga listrik sehingga dapat menghemat kebutuhan listrik pabrik sekitar 10%--15%, hingga melakukan inovasi dengan memproduksi semen ramah lingkungan.
“Contoh produk semen ramah lingkungan adalah Portland pozzolan cement (PPC), Portland composite cement (PCC), cement slag, dan cement hydrolis,” imbuh Widodo, Rabu (10/11).
Semen ramah lingkungan dapat menghemat bahan bakar sekaligus rendah emisi. Pemerintah pun disebut Widodo sangat mendukung penggunaan semen ramah lingkungan untuk berbagai proyek infrastruktur strategis nasional.
Baca Juga: Agus Gumiwang: Perlambatan ekonomi kuartal III sudah kami perkirakan
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono menyebut, beban pengeluaran industri plastik akan meningkat apabila pajak karbon diterapkan.
Tapi, belum semua negara menerapkan pajak karbon terhadap industrinya. Hal ini yang dikhawatirkan Inaplas akan memicu persaingan yang kurang sehat di industri plastik apabila pemerintah abai terhadap aspek pengawasan.
Bukan mustahil Indonesia akan kebanjiran produk impor plastik dan turunannya yang berasal dari negara yang belum menerapkan pajak karbon. Di sisi lain, belum tentu produsen plastik lokal dapat bersaing lantaran harus berurusan dengan beban pengeluaran yang tinggi.
“Indonesia jadi pasar bagi produk-produk plastik. Impor plastik yang masuk itu bisa mencapai 1 juta ton per tahun. Kalau tidak diawasi dengan baik bisa bahaya,” ungkap dia, kemarin.
Baca Juga: Komitmen Terhadap Ekonomi Hijau
Kekhawatiran yang serupa juga dirasakan oleh Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia Eddy Suyanto. Menurutnya, penerapan pajak karbon di tahun depan akan berdampak terhadap kenaikan biaya produksi yang pada akhirnya dapat mengurangi daya saing industri keramik. Padahal, industri keramik masih berupaya untuk pulih di tengah pandemi Covid-19.
Ancaman berupa maraknya produk keramik impor masih terlihat. Pasalnya, di periode Januari—Agustus 2021, impor produk keramik tumbuh hampir 50% (yoy). Mayoritas keramik impor tersebut datang dari China dan India.
“Baik China dan India merupakan eksportir keramik terbesar ke pasar Indonesia yang mana mereka belum menerapkan pajak karbon untuk industrinya,” tandas dia.
Baca Juga: Menperin sebut sektor manufaktur masih on track
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News