kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,28   10,97   1.21%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pariwisata di Morotai kini menjadi harapan bagi para perajin pernak pernik


Jumat, 13 September 2019 / 09:58 WIB
Pariwisata di Morotai kini menjadi harapan bagi para perajin pernak pernik
ILUSTRASI. Aneka produk kerajinan warga Pulau Kolorai, Morotai.


Reporter: Agung Hidayat, Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -MOROTAI. Besarnya animo wisatawan ke Kabupaten Pulau Morotai belum diimbangi dengan kekuatan produksi kerajinan tangan atau industri rumah tangga yang dapat menjadi nilai tambah bagi pariwisata daerah ini. Sebagian besar Usaha Kecil Menengah (UKM) masyarakat yang menghasilkan produk cinderamata khas pulau ini digarap secara swadaya dan belum maksimal.

Nona N. Duwila, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Morotai pun mengakui hal tersebut, bahwa pengembangan kerajinan di pulau ini belum semasif destinasi wisata lainnya. Divisi bekraf dinas pariwisata selama ini terus bekerjasama dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Disperindag) dan UKM Kabupaten untuk memajukan beberapa sektor yang potensial.

Baca Juga: Blibli.com dukung ‘Wonderful Indonesia’ melalui promosi destinasi prioritas

Welhelmus, Kepala Disperindag dan UKM Kabupaten Kepulauan Morotai bilang pihaknya tengah mengembangkan UKM berbasis sumber daya alam, salah satunya berupa perkebunan kelapa. Nantinya, selain untuk kebutuhan industri kopra, produk turunan tersebut dapat menghasilkan kerajinan semisal tempurung yang menunjang pariwisata.

"Untuk itu rencananya kami akan bangun sentra Industri Kecil Menengah (IKM) di 2020 nanti, saat ini kami tengah mengajukan pendanaan ke Kementerian Perindustrian," terang Welhelmus saat ditemui di kantornya, Selasa (3/9).

Lebih lanjut ia bilang motivasi pendirian sentra ini juga dikarenakan Morotai ditetapkan sebagai 10 Bali baru. Adapun anggaran pembangunan sentra tersebut mencapai Rp 25 miliar.

Mengenai data jumlah UKM di Morotai, Welhelmus belum dapat menyajikannya. Namun ia mengaku keberadaan UKM tersebar cukup merata di kabupaten ini.

Selain produk kelapa, Morotai juga dikenal dengan kerajinan besi putih yang materialnya berasal dari logam sisa peralatan perang dunia kedua yang tertimbun di pulau ini. Tapi, jumlah kerajinan ini mulai berkurang seiring kurangnya ketersediaan bahan baku, akibatnya pengrajin besi putih ini sudah mulai langka.

Baca Juga: Pengembangan infrastruktur di 5 destinasi super prioritas dapat menarik investor

Menghadapi realitas tersebut, pemerintah daerah Morotai juga mengaku tengah berfokus meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) agar mampu bersaing dan memaksimalkan sektor-sektor tersebut.

Welhelmus mengatakan tantangan selain mengembangkan potensi UKM ialah bagaimana mengajarkan kepada masyarakat cara pemasaran yang efektif. Untuk itu, ia menyebut bahwa pihaknya menyusun beberapa pelatihan guna menyokong keberadaan industri-industri kecil tersebut.

“Jadi supaya ada kontinuitas produksi. Dari segi kualitas dan kuantitas juga harus mencukupi,” ungkapnya.

Baca Juga: Begini upaya Sahid Group mendorong pariwisata di Morotai

KONTAN pun melakukan penelusuran ke beberapa sentra UKM yang memiliki potensi untuk menopang kepariwisataan di Morotai. Dari hasil telusur KONTAN tampak bahwa UKM di Morotai butuh dorongan serius dari pemerintah setempat.

Seperti pada UKM kerajinan tempurung kelapa, beberapa rumah yang memiliki plang kerajinan tempurung kelapa tidak ada aktivitas pekerjaan dan jual-beli. Sanggarupa Tigalu Ole-Ole Tampurung Kelapa misalnya, tempat di Morotai Utara tersebut sudah tidak memproduksi barang baru dan tidak ada instalasi produk lagi.

Kerajinan besi putih khas Morotai pun tak kalah mengkhawatirkan. Menurut salah satu pengrajin besi putih di Daruba, Darwin Wadaka, saat ini jumlah pengrajin besi putih menurun drastis.

Baca Juga: Bangun kembali Papua dan Papua Barat, pemerintah siapkan Rp 100 miliar

Darwin mengatakan, saat ini jumlah pengrajin besi putih di Daruba hanya tinggal 20 pengrajin. Padahal, di tahun 2016 saja, jumlahnya masih sekitar 60 pengrajin. “Dulu di sini pusatnya, tapi sekarang pada sibuk masing-masing mencari pekerjaan yang lain,” kata Darwin.

Padahal, dari sisi keekonomian, kerajinan besi putih cukup menjanjikan. Darwin mencontohkan kerajinan pedang katana yang berasal dari tempaan besi putih. Ia bilang, peminatnya cukup banyak dan berasal dari kota besar, seperti Jakarta.

Satu pedang katana Darwin jual seharga Rp 2,5 juta. “Tapi teman saya yang jual di Jakarta bisa jadi Rp 10 juta. Yang banyak pesen memang dari Jakarta, kita kirim lewat paket logistik,” ungkapnya.

Sementara, harga rerata bahan baku besi putih hanya sekitar Rp 600-Rp700 ribu untuk satu lempengan. Darwin mengatakan, bahan baku pembuatan kerajinan besi putih yang mengandalkan besi-besi peninggalan Perang Dunia II sekarang memang lebih terbatas.

Alasannya, penggunaan besi bekas Perang Dunia II yang tenggelam di bawah laut sudah dilarang. Namun, Darwin mengaku bahan baku besi putih masih bisa didapatkan. Apalagi, bahan baku bisa dipasok dari daerah lain, seperti dari Biak.

Baca Juga: Perkenalkan bido, kelapa berpohon pendek asli Pulau Morotai

Namun, penjualan kerajinan besi putih butuh dukungan dari pemerintah daerah. Hal itu pun dikeluhkan oleh Abdul Naim, salah seorang penjual kerajinan besi putih. Ia menyebut, wisatawan peminat besi putih kian berkurang. Naim berharap, pemda bisa memberikan perhatian khusus dan membantu promosi dan penjualan besi putih.

Memang, saat ada event wisata, penjualan besi putih ikut terdongkrak. Namun, hal itu belum cukup untuk menutupi kebutuhan harian para penjual. Naim meminta, supaya perhatian dari Pemda tak hanya jika ada event saja. “Kalau ada event bisa Rp 2-Rp 3 juta, tapi kalau sehari-hari hanya Rp 100-Rp 200 ribu. Perhatian dari Pemda belum tampak,” ungkapnya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh UKM di Pulau Galo-Galo. Raode Lohor, salah satu penggerak UKM di sana, mengaku bahwa Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang ada di Galo-galo terbentuk secara swadaya.

Baca Juga: Berkaraoke ria di Museum Perang Dunia II dan Trikora Morotai

Padahal, produk UKM di sini cukup potensial, khususnya sebagai cinderamata untuk menunjang wisata di Morotai. Raode bilang, Pokdarwis di Galo-galo memproduksi sabun nabati yang berasal dari minyak kelapa dengan sejumlah varian, yakni mangrove, rumput laut dna lidah buaya.

Selain itu, ada juga anyaman dari daun pandan, kerajinan pahat kayu, ikan asin juga olahan rumput laut. Menurutnya, perhatian Pemda baru datang ketika ada event wisata di Morotai saja. Setelah itu, belum ada perhatian yang berkesinambungan, baik untuk penjualan maupun promosi. “Sudah menjanjikan, tapi belum ada. Pokdarwis ini masih mandiri,” ujarnya.

Hal senada juga dirasakan oleh desa wisata di Desa Kolorai. Rusmaini Laeli, salah seorang warga pemilik homestay di Desa Kolorai mengaku bantuan dari Pemda diberikan pada saat persiapan Sail Morotai tahun 2012 lalu. “Setelah itu belum ada lagi,” ungkapnya.

Baca Juga: Ingin Island Hopping di Morotai? Jangan Lupa singgah dulu di Pasir Timbul

Padahal, Desa Kolorai memiliki posisi strategis sebagai persinggahan ketika para pelancong melakukan wisata susur pulau atau Island Hopping. Selain itu, Desa Kolorai juga dikenal sebagai pengrajin ikan asin.

Rusmaini bilang, saat ini ada 12 homestay yang ada di Kolorai. Rerata jumlah wisatawan yang menginap di sana hanya 5-10 malam, dalam sebulan. Sementara jika musim liburan akhir tahun atau lebaran, jumlah okupansinya bisa mencapai 20 malam.

“Tapi ada kalanya baru ada satu tamu dalam satu atau dua bulan. Kita perlu bantuan Pemda untuk promosi,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×