Reporter: Arfyana Citra Rahayu, Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Deretan lemari pendingin yang berisi berbagai macam produk beku dan olahan pangan yang dikenal sebagai frozen food cukup menyita perhatian pengunjung supermarket pada siang itu. Tidak hanya ibu-ibu, masyarakat dari semua kalangan umur tidak luput melihat-lihat hingga membelinya.
Maklum saja, frozen food semakin disukai karena menawarkan solusi praktis serta harga yang terjangkau bagi masyarakat yang kini banyak menetap di kawasan perkotaan. Berbagai jenis produk beku dan olahan pangan juga dapat mengakomodasi kebutuhan dan selera masyarakat yang berbeda-beda.
Saat ini, penjualan produk beku dan olahan pangan terutama yang berbasis hewani telah merambah ke berbagai tempat. Tidak hanya di supermarket, toko frozen food banyak tersebar di ruko hingga rumah-rumah. Alhasil, produk-produk ini jadi semakin mudah didapatkan masyarakat.
Bagi Tutun (46 tahun), toko frozen food dekat rumahnya sudah menjadi destinasi belanja rutinnya seminggu sekali. Kedua anaknya yang masih duduk di sekolah dasar dan menengah pertama memang menyukai kudapan olahan ayam seperti nugget.
“Kalau Aisyah sukanya hanya nugget. Haidar juga suka tapi termasuk yang cukup jarang makan nugget, dia lebih senang dimsum frozen,” ceritanya kepada Kontan.co.id, Rabu (18/9/2024).
Baca Juga: Persaingan Bisnis Logistik Ketat, NCS Siapkan Sejumlah Inovasi untuk Pelanggan
Menyuguhkan nugget menjadi salah satu taktik Tutun untuk memenuhi kebutuhan protein anak-anaknya di saat tertentu saja. Ia cukup membatasi konsumsi produk olahan unggas ini karena khawatir akan kandungan gizi dan garam yang kurang baik.
“Sebenarnya saya tidak begitu tahu dampak proses pembekuan ke kandungan nutrisi produk frozen food. Akan tetapi, yang pasti, produk-produk tersebut tidak saya jadikan hidangan andalan harian, hanya untuk cemilan atau kalau situasi sedang kepepet saja,” ungkap Tutun.
Keresahan serupa juga dirasakan oleh Djuairiyah (44 tahun). Ibu dua anak ini meyakini, produk olahan pangan yang dapat tahan berbulan-bulan karena dibekukan pastinya mengandung bahan pengawet.
Alhasil, dia membatasi konsumsi makanan olahan seperti nugget dan sosis untuk anak-anaknya. Ia hanya menyajikan makanan olahan tersebut apabila sedang terburu-buru atau mempunyai waktu sempit untuk mempersiapkan bekal sekolah para buah hatinya.
Kekhawatiran Tutun dan Djuairiyah sebenarnya juga dirasakan sebagian besar masyarakat hari ini. Banyak yang mengira produk beku dan olahan pangan berbahaya bagi kesehatan karena diawetkan.
Baca Juga: Bagi yang Berusia 40 Tahun ke Atas, Pantang Makan 10 Makanan Ini
Padahal, proses pembekuan makanan justru merupakan salah satu cara untuk membuat nutrisi dari makanan tetap terjaga. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), pembekuan adalah salah satu proses yang paling banyak digunakan untuk konservasi makanan.
Proses pembekuan ini didasarkan pada penghilangan panas dari makanan yang akan diawetkan dengan menjaga suhu yang cukup rendah pada titik yang dapat menghambat atau mengurangi tindakan destruktif mikroorganisme, oksigen, dan enzim. Meskipun begitu, makanan beku tetap memiliki batas waktu simpan.
Kekhawatiran lain yang juga sering mengganjal ialah kandungan gizi pada daging beku dan makanan olahan lebih rendah dibandingkan makanan dari bahan-bahan segar karena saking praktisnya produk ini. Namun nyatanya, tidak semuanya seperti itu.
Dokter Spesialis Gizi di RS Brawijaya Antasari, dr. Cindiawaty Josito Pudjiadi, MARS, MS, Sp. GK menjelaskan, kandungan gizi makanan beku yang pembuatannya baik dan benar serta mengantongi izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan terjaga asalkan disimpan di suhu yang tepat. Makanan beku yang sudah dicairkan dan suhunya sudah menuju normal akan cenderung rusak jika disimpan kembali di dalam kulkas.
“Kalau sudah dikeluarkan dari freezer jangan dimasukkan kembali. Jadi memang konsumsi sesuai keperluan saja sehingga makanan tidak keluar masuk kulkas,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Baca Juga: Frozen Food Baik atau Buruk untuk Kesehatan
Sejatinya, makanan beku tidak hanya berkutat pada produk olahan seperti nugget dan sosis saja. Justru produk dalam bentuk daging beku dapat menjadi pilihan utama makanan beku yang sehat. Daging yang dibekukan dapat dianggap sehat jika diproses dan disimpan dengan benar.
Dosen di Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Sandra Fikawati mengungkapkan pentingnya mengkonsumsi protein hewani. Ia menjelaskan, manusia membutuhkan setidaknya 20 jenis asam amino atau senyawa yang bergabung untuk membentuk protein.
Sembilan di antaranya adalah asam amino esensial yang harus didapatkan dari makanan. “Meskipun manusia dapat memperoleh protein yang bersumber dari protein nabati, namun protein hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lebih lengkap,” jelasnya belum lama ini.
Baca Juga: Malindo Feedmill (MAIN) Ekspor Ayam ke Singapura Senilai US$ 65.000
Tanggung jawab produsen saat pasar tumbuh
Meski masih banyak yang salah kaprah, kebutuhan frozen food pada kenyataannya terus meningkat. Hal ini bisa dilihat dari nilai pasarnya yang sudah mencapai lebih dari Rp 200 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) Hasanuddin Yasni menjelaskan, permintaan makanan beku di Indonesia terus naik signifikan. Salah satu faktor pendorongnya adalah penjualan online lewat marketplace.
“Perubahan gaya hidup dan urbanisasi juga menjadi faktor pendorong lainnya. Tempat tinggal juga menjadi pemacu pertumbuhan industri ini,” ungkapnya kepada Kontan.co.id, Rabu (18/9/2024).
Seharusnya, nilai pasar frozen food di domestik sudah mencapai Rp 650 triliun dengan perincian Rp 300 triliun produk perikanan, Rp 100 triliun produk unggas, Rp 80 triliun daging merah, dan Rp 175 triliun produk hortikultura.
Baca Juga: Jelang Ramadan, Jumlah Penjualan Produk Makanan dan Minuman di E-Commerce Naik 75%
Namun kenyataannya, ketersediaan logistik rantai dingin untuk makanan beku baru mencapai 35% dari kebutuhan. “Jadi nilai bisnis market domestik frozen food baru mencapai Rp 227 triliun,” terangnya.
Khusus pasar unggas, Hasanuddin mengakui bahwa variasi produknya lebih banyak karena mudah diolah menjadi nugget, sosis, bakso, dan lain-lain. Namun tetap saja, daging ayam potong yang dibekukan masih lebih dominan mengisi ceruk pasar frozen food unggas karena lebih banyak diminati masyarakat.
Peluang ini pun dilihat oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk sebagai salah satu perusahaan peternakan terbesar di Indonesia. Perusahaan berkode saham JPFA ini belakangan juga gencar melakukan inovasi dengan mengembangkan hilirisasi produk peternakannya.
Yang dimaksud dengan hilirisasi produk peternakan adalah upaya untuk mengolah hewan peternakan menjadi daging potong mentah, olahan jadi siap masak, hingga produk olahan siap makan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk peternakan.
Baca Juga: Ujung Tahun 2023, Indonesia Ekspor Ayam Beku ke Singapura Senilai Rp Rp 1,012 Miliar
Beberapa contoh hilirisasi produk peternakan yang sudah banyak dikenal dan menjadi santapan sehari-hari adalah ayam, daging, dan ikan mentah yang sudah dipotong-potong lalu dibekukan. Ada juga produk olahan siap masak maupun siap makan seperti sosis, nugget, patty, bakso, kornet, chicken wings, siomay, otak-otak, pempek, hingga susu UHT.
JAPFA sendiri menamakan segmen produk hilirnya dengan brand JAPFA Food yang terbagi lagi menjadi beberapa brand turunan. Contoh-contoh merek yang sudah banyak dikenal adalah So Good, So Nice, Soszzis, Best Chicken, Ayam ULU, Santori, Dosuka, Tora Duo, Seafood Lovers, dan Real Good.
Tak berhenti sampai di situ, di awal tahun ini, JPFA meluncurkan inovasi baru dari JAPFA Food, yakni ayam segar probiotik dengan brand Olagud. Ayam potong ini tidak disuntik antibiotik dan hormon, serta diberi makan probiotik selama ternak sehingga mengandung protein tinggi nutri yang lebih sehat.
Baca Juga: Kuota Impor Sapi Tahun 2024 di Bawah Kebutuhan, Efeknya bisa Positif Untuk Emiten Ini
Rachmat Indrajaya, Direktur Corporate Affairs JAPFA menyatakan, ayam probiotik Olagud mendapatkan respons positif dari pasar. Ini terbukti dari keberhasilan JAPFA mengekspor produk tersebut ke Singapura dengan total mencapai 110.000 ekor pada 2023.
“Melihat peluang yang cukup baik, JAPFA Food pun mulai memasarkan ayam segar probiotik Olagud di area Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi),” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (19/9/2024).
Dari segi kualitas produknya, JAPFA berkomitmen mematuhi standard keamanan dan kualitas yang ketat. Hal ini didukung dengan sistem produksi yang efisien sehingga produk yang dihasilkan aman, sehat, dan berkualitas tinggi.
Selain itu, JAPFA menggunakan teknologi dan inovasi yang tepat untuk produk-produknya. Salah satunya adalah teknik pembekuan Individual Quick Freezer (IQF) yang memastikan tingkat kesegaran setiap produknya tetap terjaga, meskipun dalam bentuk produk beku.
JAPFA juga telah mengantongi beberapa sertifikasi/food safety, baik berstandard nasional maupun internasional. Sebut saja sertifikat NKV, halal, PMR, HACCP, ISO 22000 Food Safety Management System, GMP, Best Aquaculture Practice (BAP), FDA, hingga BRC Global Standard Food Safety.
Baca Juga: Japfa Comfeed Indonesia (JPFA) Bangun Kandang Serba Modern
Untuk menggaet masyarakat luas, JAPFA memastikan produk-produknya mempunyai kualitas yang baik dengan harga terjangkau. JAPFA menawarkan solusi pangan mulai dari bahan baku hingga produk akhir di tangan konsumen.
Dalam rangka memudahkan akses konsumen atas produk-produk protein hewani, JAPFA memiliki saluran penjualan offline, yakni gerai Best Meat dan secara daring melalui JAPFA Food Online. Saat ini, JAPFA sudah memiliki sekitar 218 gerai Best Meat yang tersebar di seluruh Indonesia yang didukung oleh 12 tipe rumah potong dan 23 saluran distribusi.
Bisnis pengolahan hasil peternakan dan produk konsumen JAPFA terbukti terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2021, penjualan neto pada segmen pengolahan mencapai Rp 6,29 triliun, lalu naik menjadi Rp 7,45 triliun pada 2022, kemudian meningkat lagi hingga Rp 7,9 triliun di 2023.
Laba operasi segmen usaha pengolahan hasil peternakan dan produk konsumen di tahun 2023 juga ikut tumbuh menjadi Rp 417,2 miliar, dari realisasi tahun 2022 yang sebesar Rp 238,8 miliar.
Baca Juga: Japfa Comfeed Indonesia (JPFA) Memperkuat Bisnis Hilir
JAPFA juga melakukan revitalisasi fasilitas produksi agar dapat memberikan produk yang bernilai tambah, seperti produk ayam boneless, ayam fillet dan berbagai produk nilai tambah lainnya. Karena tingginya tingkat persaingan yang cenderung berorientasi pada persaingan harga jual, maka perusahaan menerapkan strategi dengan mengubah paradigma penjualan.
Hal-hal yang menjadi fokus perusahaan antara lain adalah mengurangi penjualan produk whole chicken dengan mengubah ke produk processed meat seperti boneless, cut up, parting, dan customise product.
Lalu, perusahaan meningkatkan penjualan segmen non-trader yang memiliki profitabilitas lebih tinggi. Caranya adalah dengan membangun direct channel ke gerai-gerai ayam goreng, horeka (hotel, restoran, katering), industri, dan modern trade, serta menurunkan target penjualan ke segmen trader dari 25%-35% menjadi 10%-15%.
Dalam riset tanggal 16 Agustus 2024, Analis Samuel Sekuritas Belva Monica dan Jonathan Guyadi membahas strategi lain yang dijalankan JPFA untuk tetap bersaing, terutama di bisnis nugget yang tengah berkembang pesat. Unit pengolahan daging So Good Food (SGF) misalnya, lebih memilih untuk meningkatkan volume penjualan dibanding menaikkan harga jual.
Dengan harga yang stabil selama 2023-2024, SGF berhasil meningkatkan volume penjualannya. Hal ini tercemin dari tingkat utilisasi produksi yang mencapai 80%-90%.
Untuk memenuhi permintaan konsumen, SGF baru-baru ini menambah lini produksi untuk nugget dengan kapasitas 2,5 ton per jam, serupa dengan yang dilakukan pada 2023. Alhasil, ada peningkatan kapasitas produksi daging dengan nilai tambah (value added meat) sebesar 55%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News