Reporter: Dimas Andi, Leni Wandira | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para produsen dari berbagai komoditas berbasis sumber daya alam kini dapat bernapas lega. Hal ini menyusul kabar bahwa Komisi Uni Eropa berencana menunda penerapan European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) atau UU Antideforestasi selama satu tahun.
Tadinya, EUDR hendak diimplementasikan pada awal tahun 2025, sehingga berpotensi mempengaruhi aktivitas ekspor sejumlah komoditas Indonesia ke kawasan Uni Eropa.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) memandang penundaan EUDR hingga 2026 sebagai peluang bagi para anggotanya untuk lebih siap menghadapi regulasi yang menuntut produk kayu bebas dari deforestasi.
Baca Juga: Strategi APKI Hadapi Penundaan EUDR: Optimalkan Persiapan Industri Kertas
"Meski penundaan ini memberi waktu bagi industri untuk beradaptasi, persiapan dan langkah strategis tetap jadi prioritas," kata Indroyono Soesilo, Ketua Umum APHI, Senin (7/10).
APHI menekankan, Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang telah diterapkan di Indonesia dapat menjadi modal kuat dalam menghadapi EUDR. SVLK akan melakukan pelacakan yang memastikan bahan baku untuk industri hutan di Indonesia berasal dari sumber yang legal dan lestari.
Di samping itu, para pebisnis hutan juga meyoroti tantangan berupa penyamaan persepsi antara Indonesia dan Uni Eropa terkait definisi dan peta deforestasi. Pengusaha hutan juga berharap dapat menghindari beban biaya tambahan akibat proses due diligence yang diwajibkan dalam EUDR.
Untuk itu, diperlukan diplomasi perdagangan antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa untuk mencapai kesepakatan terbaik yang tidak memberatkan pelaku usaha.
Senada, Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) juga mengandalkan SVLK untuk memastikan bahan baku kertas berasal dari sumber yang legal dan berkelanjutan, sesuai dengan amanat EUDR.
Harus diakui bahwa banyak pemasok pulp dan kertas nasional yang belum menyediakan data geolokasi yang diperlukan oleh EUDR. Belum lagi, terdapat biaya tambahan untuk memenuhi standar keberlanjutan yang cukup memberatkan bagi perusahaan kecil dan menengah.
"APKI mendesak pemerintah mengambil langkah proaktif, baik melalui akses pendanaan untuk teknologi keterlacakan, sertifikasi keberlanjutan, maupun pengembangan infrastruktur," kata Ketua Umum APKI Liana Bratasida, Senin (7/10).
Baca Juga: Kebijakan EUDR jadi Momentum Perbaikan Tata Kelola Petani Sawit
Permintaan revisi
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Soetanto Abdullah menyambut positif penundaan kebijakan EUDR. Sejauh ini, industri kakao nasional masih kesulitan melakukan pendataan kebun milik petani berdasarkan aspek geolokasinya, sesuai arahan EUDR.
Dekaindo juga berharap kebijakan EUDR direvisi karena cukup merepotkan produsen maupun petani kakao, bahkan juga industri di Uni Eropa.
"EUDR adalah aturan Pemerintah Uni Eropa, tetapi industri di sana justru belum siap juga dengan regulasi ini," jelas dia, Senin (7/10).
Baca Juga: Respons Serikat Petani Sawit Terkait Penundaan Kebijakan EUDR
Soetanto menambahkan, selama ini ekspor kakao Indonesia lebih banyak ditujukan ke kawasan non-Uni Eropa. Meski begitu, tidak jarang kakao dari Indonesia yang diolah di negara tujuan ekspor ujung-ujungnya lanjut dijual ke kawasan Eropa.
Para produsen dan eksportir kopi juga mengaku kesulitan memenuhi persyaratan EUDR, terutama terkait data geolokasi dan legalitas. Ini mengingat luas lahan kebun kopi milik petani yang perlu didata rata-rata hanya 1 hektar (Ha). Alhasil, butuh upaya lebih keras dan biaya tinggi untuk pendataan tersebut dibandingkan negara lain seperti Vietnam dan Brazil.
"Harusnya ada revisi EUDR yang memisahkan antara korporasi dan petani," terang Ketua Departemen Specialty & Industri BPP Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Moelyono Soesilo, Senin (7/10).
AEKI juga menyebut, penundaan EUDR tidak berdampak signifikan terhadap ekspor kopi Indonesia ke Eropa. Justru ada kemungkinan ekspor kopi ke Benua Biru turun dalam jangka pendek lantaran masih banyak biji kopi yang sedang dalam proses perjalanan ke sana. Alhasil, terdapat potensi kelebihan pasokan kopi yang akan dialami Eropa.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono turut mengatakan, pada dasarnya Gapki dan pemerintah sama-sama berusaha agar ekspor sawit Indonesia ke Eropa sesuai dengan ketentuan EUDR. Alhasil, waktu satu tahun penundaan akan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh produsen sawit untuk bersiap diri.
Baca Juga: Menilik Kesiapan Industri Mebel dan Kerajinan Hadapi Kebijakan EUDR
Gapki juga akan terus memberi masukan kepada Komisi Uni Eropa terkait poin aturan apa saja di dalam EUDR yang memberatkan atau tidak sesuai dengan peraturan di Indonesia.
"Jadi Uni Eropa juga harus mengerti bagaimana kondisi Indonesia," ujarnya, Senin (7/10).
Secara umum, Gapki belum bisa memprediksi tren ekspor sawit Indonesia ke Eropa paska penundaan EUDR. Yang terang, upaya ekspor bakal menemui persaingan yang ketat dengan berbagai macam komoditas penghasil minyak nabati lainnya, seperti biji bunga matahari dan kedelai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News