Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pelaku usaha pertambangan menyoroti ketimpangan dalam skema denda administratif bagi pelanggaran kawasan hutan yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025.
Para pelaku menilai penerapan tarif denda yang berbeda antar-komoditas belum dibarengi kejelasan metodologi perhitungan dan kepastian hukum, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
Dus, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Tri Winarno perhitungan denda didasarkan pada perbedaan potensi keuntungan masing-masing komoditas.
“Kayaknya gain, gain, gain, gain yang didapat, laba bersih yang didapat. Masing-masing kan beda-beda,” ujar Tri ditemui di kantor Kementerian ESDM, Rabu malam (10/12/2025).
Baca Juga: Kejar Denda dari Penambang Pelanggar Kawasan Hutan
Sementara itu, Indonesian Mining Association (IMA) Executive Director IMA Hendra Sinadia mengatakan, dalam lima tahun terakhir pemerintah telah menerbitkan banyak izin keterlanjuran untuk perkebunan sawit, tetapi belum satu pun untuk sektor pertambangan. Di sisi lain, disparitas denda antara kedua sektor sangat mencolok.
“Denda sawit tahun 2025 hanya Rp 25 juta per hektare, sementara denda tambang bisa mencapai Rp 6,5 miliar per hektare. Ini menimbulkan ketidakadilan,” tegasnya kepada Kontan, Kamis (11/12/2025).
Kepmen ESDM 391/2025 menetapkan besaran denda berbeda sesuai komoditas. Nikel dikenai denda tertinggi sebesar Rp6,5 miliar per hektare, kemudian bauksit Rp 1,7 miliar per ha, timah Rp 1,2 miliar per ha, dan batubara Rp 354 juta per ha.
Regulasi ini merupakan turunan PP 45/2025 dan dirumuskan bersama Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) serta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Seluruh penagihan akan dicatat sebagai PNBP sektor ESDM.
Baca Juga: IMA Soroti Ketidakadilan dalam Penerapan Denda Tambang di Kawasan Hutan
Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy menambahkan, pemerintah perlu memaparkan secara lebih komprehensif dasar perhitungan nilai denda tersebut, termasuk dengan melibatkan asosiasi pertambangan tiap komoditas. Minimnya penjelasan teknis dinilai bisa menimbulkan multiinterpretasi dan resistensi dari pelaku usaha.
Pandangan senada disampaikan Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII). Ketuanya, Rizal Kasli, mengatakan pemerintah harus menjelaskan metodologi penghitungan kerugian negara yang menjadi dasar besaran denda.
Menurut Rizal, perbedaan perlakuan antara sektor perkebunan dan pertambangan memicu pertanyaan publik.
“Denda untuk perkebunan hanya Rp 25 juta per hektare, sementara tambang nikel Rp 6,5 miliar, bauksit Rp 1,8 miliar, timah Rp 1,25 miliar, dan batubara Rp 350 juta per hektare. Siapa ahli yang menghitung nilai kerugian negara tersebut? Ini perlu diklarifikasi,” ujarnya, Rabu (10/12).
Ia mencontohkan kasus sebuah perusahaan nikel yang dijatuhi denda Rp 3,3 triliun akibat pelanggaran kawasan hutan. Nilai tersebut dinilai tidak masuk akal jika dibandingkan potensi pendapatan perusahaan.
Baca Juga: ESDM Ketok Aturan Denda Tambang Hutan: Nikel Tertinggi
“Tambang nikel seluas 1.000 hektare dengan asumsi cadangan 17,5 juta ton dan harga jual US$35 per ton hanya menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp 3 triliun dalam beberapa tahun. Jika dendanya Rp 3,3 triliun, perusahaan bisa langsung bangkrut,” paparnya.
Rizal juga menyoroti penerbitan aturan teknis setelah perusahaan terlebih dahulu dikenai denda, sehingga dinilai berpotensi menimbulkan penerapan aturan secara retroaktif. “Apakah ketentuan itu bisa berlaku surut? Ini harus dikaji lebih komprehensif oleh ahli hukum,” katanya.
Ia mengingatkan ketidakjelasan dasar perhitungan denda dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan mengganggu minat investor di sektor minerba.
“Kami khawatir hal ini berpengaruh terhadap kepastian hukum dan iklim investasi,” tandasnya.
Para pelaku berharap pemerintah membuka ruang dialog lebih luas untuk menyempurnakan implementasi aturan, sehingga penegakan hukum tetap berjalan tanpa mengorbankan asas keadilan dan keberlanjutan industri tambang.
Baca Juga: ESDM Ungkap Dasar Penetapan Denda Berbeda di Pelanggaran Tambang Kawasan Hutan
Selanjutnya: Rekomendasi 7 Kuliner Malam di Bandung yang Terkenal Enak, Pernah Coba?
Menarik Dibaca: Promo KFC x Indodana PayLater, Paket Petook Duo Cukup Bayar Rp 10.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













