kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.896.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.829   -50,00   -0,30%
  • IDX 6.429   60,66   0,95%
  • KOMPAS100 922   -0,83   -0,09%
  • LQ45 723   -1,34   -0,18%
  • ISSI 202   3,31   1,67%
  • IDX30 377   -1,31   -0,35%
  • IDXHIDIV20 459   0,66   0,14%
  • IDX80 105   -0,20   -0,19%
  • IDXV30 112   0,71   0,64%
  • IDXQ30 124   -0,16   -0,13%

Persaingan Makin Ketat, Bagaimana Potensi Merger E Commerce pada 2025?


Rabu, 19 Februari 2025 / 19:24 WIB
Persaingan Makin Ketat, Bagaimana Potensi Merger E Commerce pada 2025?
ILUSTRASI. Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda.


Reporter: Leni Wandira | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persaingan di dunia e-commerce Indonesia semakin ketat. Pada 2025, merger dan akuisisi menjadi strategi yang tak terhindarkan bagi banyak pemain besar. 

Nailul Huda, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan bahwa tren konsolidasi bisnis di sektor e-commerce akan semakin berkembang seiring dengan semakin terbatasnya pilihan bagi konsumen.

Menurut Huda, semakin banyak pemain e-commerce yang tutup, sehingga pilihan bagi konsumen menjadi lebih sedikit. 

“Tentu saja, kita ingin melihat lebih banyak pilihan yang tersedia bagi konsumen. Namun, faktanya, semakin banyak yang gagal bertahan, semakin sedikit pilihan yang ada,” ujar Huda dalam acara diskusi media di Jakarta, Rabu (19/2).

Baca Juga: Menilik Peluang dan Tantangan Bisnis E-Commerce pada Tahun 2025

Meski demikian, Huda melihat hal ini bisa menjadi peluang untuk konsolidasi, yang bisa menciptakan ekosistem e-commerce yang lebih sehat dan efisien.

Dalam pandangannya, meskipun konsumen akan memiliki pilihan yang lebih sedikit, konsolidasi antarplatform justru bisa membawa dampak positif. 

"Ketika platform-platform besar menguat, mereka cenderung lebih berfokus pada kualitas layanan, pengembangan produk, serta efisiensi yang lebih baik, yang tentunya akan menguntungkan konsumen dalam jangka panjang," ujarnya.

Merger antara "Layer 2" dan "Layer 3"

Jika dipetakan, Huda mengatakan kompetisi bisnis e commerce di Indonesia saat ini terbagi dalam 3 layer berdasarkan size bisnis mereka. Pemain di layer pertama adalah Tiktok Tokopedia dan Shopee. Kemudian, pemain di layer kedua adalah Lazada, Blibli dan Bukalapak. 

Salah satu potensi yang sedang berkembang adalah kemungkinan merger antara e-commerce yang berada di layer 2 dan layer 3. Blibli, misalnya, yang kini berada di layer 2, mungkin akan melakukan akuisisi terhadap platform e-commerce yang ada di layer 3, guna memperluas pangsa pasar dan efisiensi operasional.

Selain itu, pemain besar seperti Shopee yang sudah sangat kuat di sektor e-commerce online, tidak menutup kemungkinan untuk mengakuisisi perusahaan e-commerce yang memiliki bisnis offline, seperti Sociolla. 

"Shopee belum memiliki layanan offline, sementara Sociolla sudah memiliki jaringan toko fisik yang bisa menjadi nilai tambah bagi Shopee untuk berkembang ke arah Omnichannel,” jelas Huda.

Baca Juga: Shopee Indonesia Luncurkan Kelas Online untuk UMKM, Permudah Akses Pelatihan Digital

Huda juga menyoroti bahwa akuisisi dan merger di sektor e-commerce bisa menjadi langkah strategis untuk efisiensi dan pengembangan ekosistem bisnis. 

Misalnya, Shopee yang memiliki kekuatan di dunia online, mungkin akan memperluas jangkauannya dengan mengakuisisi penyedia layanan offline atau bahkan perusahaan yang bergerak di bidang lain, seperti streaming atau teknologi finansial.

"Kita melihat, untuk bertahan dan berkembang, perusahaan-perusahaan besar seperti Shopee dan Tokopedia mungkin akan mencari cara untuk mengintegrasikan layanan-layanan yang lebih beragam ke dalam ekosistem mereka, mulai dari pembayaran hingga live shopping," ujarnya.

Di sisi lain, Bukalapak yang saat ini telah bertransformasi menjadi platform investasi dan lebih fokus pada pasar offline melalui Mitra Bukalapak, juga menghadapi tantangan. Huda menilai bahwa IPO yang dilakukan Bukalapak pada tahun 2021 tidak sepenuhnya memanfaatkan potensi ekosistem yang ada.

"Sayangnya, dana yang didapat dari IPO tidak digunakan dengan optimal untuk mengembangkan ekosistem di Bukalapak. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi Bukalapak untuk bertahan dan bersaing dengan pemain besar lainnya,” kata Huda.

Huda memperkirakan prospek e-commerce Indonesia di tahun 2025 adalah merger dan akuisisi akan menjadi tren yang semakin kuat, terutama di sektor yang lebih kecil atau lebih spesifik. 

Pemain besar akan terus mencari peluang untuk mengkonsolidasikan pasar dengan tujuan memperluas ekosistem bisnis mereka.

“Merger masih akan jadi tren karena ini salah satu cara untuk efisiensi dan memperluas jangkauan pasar. Di 2025, kita akan melihat lebih banyak akuisisi antar e-commerce dengan model yang lebih berbasis pada ekosistem lengkap,” ungkap Huda.

Bagi konsumen, meskipun mereka akan dihadapkan dengan pilihan yang lebih terbatas, kualitas layanan yang lebih baik dan harga yang lebih kompetitif kemungkinan akan menjadi hasil dari konsolidasi tersebut. 

"Semoga konsolidasi ini dapat mendorong perusahaan untuk memberikan layanan yang lebih baik dan harga yang lebih terjangkau bagi konsumen," pungkasnya.

Baca Juga: Bukalapak (BUKA) Siap Alokasikan Sisa Dana IPO untuk Modal Kerja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×