Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) sukses menerapkan campuran batubara dengan bahan bakar berbasis energi terbarukan (EBT). Anak usaha PT PLN ini berhasil melakukan pencampuran di lima Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Presiden Direktur PJB Iwan Agung Firstantara mengungkapkan, pencampuran tersebut menggunakan metode co-firing, yang mencampur batubara dengan bahan bakar biomassa dalam bentuk pelet kayu (wood pellet) dan cangkang sawit. Iwan bilang, uji coba dilakukan secara intensif sejak awal tahun lalu dan berhasil melakukan uji coba dengan porsi pencampuran 1%, 3% dan 5% pelet.
Iwan menjelaskan, uji coba tersebut dilakukan di lima PLTU. Tiga PLTU berlokasi di Jawa, yakni PLTU Indramayu (3 x 330 MW), PLTU Rembang (2 x 300 MW) dan PLTU Paiton (2 x 400 MW). Sementara dua lainnya adalah PLTU Ketapang di Kalimantan Barat (2 x 10 MW) dan PLTU Tenayan di Riau (2 x 100 MW).
Baca Juga: PLN bersiap adopsi energi hijau di PLTU dengan co-firing campuran sampah dan kayu
Iwan bilang, pelet untuk campuran batubara menyesuaikan potensi yang ada di wilayah sekitar. Dia mengatakan, pelet yang digunakan untuk PLTU di Jawa memakai wood pellet, sementara yang di luar Jawa memakai cangkang sawit.
Iwan mengatakan, pihaknya akan terus meningkatkan porsi campuran secara bertahap hingga bisa mencapai 30% pelet. Menurutnya, skema ini telah banyak diterapkan di sejumlah negara maju, seperti di Inggris.
"Sekarang 5%, nanti kita targetkan bisa mencapai 30% (campuran pelet). Kita mengacu ke Inggris, di sana bisa sampai 30%, bahkan hingga menggantikan PLTU batubara," terangnya kepada Kontan.co.id selepas menghadiri Focus Group Discussion co-firing PLTU , Selasa (25/2).
Baca Juga: PLTU Indramayu ujicoba gunakan wood pellet untuk bahan bakar pembangkit
Iwan mengungkapkan, meski secara teknis dan operasional pencampuran PLTU dengan co-firing tak menemui kendala, namun pihaknya belum bisa menjalankan skema ini secara komersial. Menurut Iwan, pihaknya terlebih dulu membutuhkan regulasi untuk memayungi skema co-firing ini.
Sebab, saat ini pencampuran batubara dengan biomassa belum ada dalam nomenklatur korporasi untuk penganggaran dan pertanggungjawaban. "Jadi kita perlu payung (regulasi), nanti ada Peraturan Direksi (PLN) yang mengatur biomassa di nomenklatur agar bisa dianggarkan dan dipertanggungjawabkan," tutur Iwan.
Iwan berharap, setelah regulasi itu terbit, maka operasi secara komersial pencampuran PLTU dengan skema co-firing bisa dilakukan pada tahun 2020 ini. "Secara komersial belum (diterapkan). Kami berharap bisa tahun ini," ungkapnya.
Baca Juga: Perhutani garap serius tanaman biomassa
Secara teknis, kata Iwan, kalori yang dihasilkan oleh pelet kayu dan cangkang sawit tidak jauh berbeda dengan batubara. Jika batubara untuk PLTU PJB memiliki kalori sekitar 4.500 kcal/kg, maka kalori dari pelet mencapai 4.400 kcal/kg. "Sehingga sudah clear secara teknis, tidak akan mengganggu operasional pembangkit," sambung Iwan.
Berdasarkan data dari PJB, saat ini ada 23 PLTU di Jawa yang berpotensi untuk menerapkan co-firing. Adapun, jika co-firing diterapkan sebanyak 5% campuran pelet, maka potensi daya yang dihasilkan mencapai 1.003,57 MW.
Penggunaan skema co-firing ini juga akan menimbulkan efek berganda bagi pengembangan ekonomi. Dengan pencampuran 5% di PLTU yang berlokasi di Jawa, maka berpotensi untuk mengembangkan 160 industri pelet dan akan menyerap 1.600 tenaga kerja baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News