Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Menanggapi hal itu, Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno meminta agar pemerintah bisa meninjau kembali rencana tersebut. Dia meminta pemerintah berhati-hati, karena kenaikan royalti bisa memberatkan pelaku usaha.
Menurut Djoko, pada saat harga emas naik, pada umumnya perusahaan tidak menikmati kenaikan tersebut. Alasannya, pendanaan untuk konstruksi sampai operasi penambangan menggunakan hedging. Sedangkan pinjaman yang dibayar dengan hasil emas yang ditetapkan saat hedging harganya diperhitungkan oleh kreditur dikisaran US$ 1.300.
"Kelebihan harganya diambil oleh pemberi dana, sehingga kalau dinaikan royaltinya akan menyulitkan pengusaha. Menurut kami perlu didiskusikan antara pemerintah dan pengusaha agar ada pengenaan wajar atas royaltinya," terang Djoko.
Jika pemerintah memutuskan sepihak, sambungnya, dikhawatirkan akan membuat investasi pertambangan semakin rendah. Apalagi, harga komoditas saat ini masih berfluktuasi.
Djoko pun meminta agar perubahan tarif royalti tidak diberlakukan pemerintah secara sepihak dan tiba-tiba. "IMA bersedia untuk diajak berdiskusi mengenai royalti dan pajak ekspor. Kami menunggu panggilan dari pemerintah," tegasnya.
Sebagai salah satu produsen mineral terbesar, termasuk emas, PT Freeport Indonesia (PTFI) mengaku masih mempelajari perubahan tarif royalti tersebut. "PTFI masih mempelajari rencana pemerintah ini," ungkap Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama kepada Kontan.co.id, Selasa (26/1).
Sementara itu, emiten plat merah PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) mengaku bakal mengikuti ketentuan yang diberlakukan pemerintah. "Perusahaan akan memaksimalkan kegiatan operasional dan berupaya memberikan kontribusi secara positif bagi negara," kata Senior Vice President Corporate Secretary ANTM Kunto Hendrapawoko.
Selanjutnya: Begini rencana bisnis ANTM, TINS, PTBA di tahun ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News