Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah bakal melakukan penyesuaian tarif royalti untuk komoditas batubara dan emas. Royalti batubara akan diubah dengan mempertimbangkan perkembangan pasar, sementara untuk emas direncanakan ada kenaikan royalti pada harga tertentu.
Asosiasi dan pelaku usaha pun buka suara menanggapi rencana pemerintah tersebut. Dari sisi batubara, Direktur PT ABM Investama Tbk (ABMM) Adrian Erlangga meminta pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM untuk bisa berdiskusi dengan asosiasi dan pelaku usaha.
Menurutnya, hal itu penting untuk memahami struktur cost di tambang batubara serta dinamika index harga yang berbeda untuk setiap kalori. Namun, Adrian mendukung jika nantinya royalti dikaitkan dengan pergerakan harga.
"Agar ketentuan baru ini efektif mendukung negara tapi tidak menjadi beban tambahan penambang. Saat ini pun batubara dikenakan royalti, jadi kami mendukung kalau ketentuan royalti yang baru dikaitkan dengan harga," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Selasa (26/1).
Baca Juga: Perluas pasar, AKR Corporindo (AKRA) akan pasok pelumas untuk industri tambang
Sementara itu, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira menyampaikan bahwa pihaknya berharap agar regulasi di industri pertambangan batubara bisa membuat perusahaan nasional bisa tetap eksis.
Sebab, batubara terkait dengan ketahanan energi nasional, serta memberikan kontribusi yang besar kepada negara dalam bentuk royalti, pajak, tenaga kerja, dan tanggung jawab sosial (CSR). "Selain itu, saat ini sektor batubara masih menjadi salah satu sektor yang diunggulkan untuk menyumbang devisa dan menyokong perekonomian negara," kata Nadira.
Meski tak secara spesifik menanggapi rencana penyesuaian tarif royalti, tapi Nadira menegaskan bahwa sebagai kontraktor pemerintah, ADRO akan tetap menerapkan good corporate governance dan mengikuti aturan yang berlaku.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyampaikan, dalam PP Perpajakan untuk bidang usaha pertambangan batubara, salah satu isinya memang mengatur tentang royalti atau Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) untuk perusahaan PKP2B yang akan diperpanjang menjadi IUPK.
"Untuk itu kami sepakat jika diberlakukan tarif royalti secara berjenjang (progresif) sesuai dengan tingkat harga tertentu dengan mempertimbangkan harga komoditas yang sangat fluktuatif," kata Hendra.
Namun, dia memberikan sejumlah catatan. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi pemegang IUPK OP perpanjangan PKP2B. Pasalnya perusahaan ini sudah beroperasi sejak lebih dari 20 tahun bahkan hampir 30 tahun.
Dengan begitu, ada sejumlah karakteristik yang perlu diperhatikan. Pertama, lokasi sebaran cadangan batubara mulai terbatas, sehingga makin sulit memilih lokasi penambangan yang ekonomis. Kedua, letak cadangan batubara yang lebih dalam dan lebih jauh, sehingga semakin lama akan semakin besar biaya untuk mengambil batubara.
Ketiga, letak lokasi pembuangan lapisan tanah penutup juga semakin jauh, sehingga perlu mengeluarkan biaya yang makin besar agar bisa menyingkap lapisan batubara."Secara alamiah, biaya produksi yang harus dikeluarkan pada kondisi tambang yang sudah menurun akan terus meningkat dari waktu ke waktu," terang Hendra.
Baca Juga: Pengusaha: Penertiban kawasan dan tanah terlantar dapat mendorong lahan produktif
Padahal, harga jual batubara tidak berhubungan dengan biaya produksi, namun mengikuti pergerakan indeks harga global dan indeks harga yang ditetapkan pemerintah. "Dengan kata lain, risiko berusaha yang ditanggung oleh pemegang IUPK OP PKP2B amat tinggi," kata Hendra.
Menurutnya, tingginya royalti sama artinya dengan tingginya biaya produksi. Alhasil, cadangan batubara yang masih berada di lapisan bawah, yang semula masih ekonomis untuk ditambang menjadi tidak ekonomis lagi. "Akibat tingginya royalti, menyebabkan cadangan batubara ekonomis akan menurun," jelas Hendra.
Sedangkan mengenai besaran tarif royalti ekspor, APBI meminta pemerintah untuk mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara yang memungkinkan perusahaan tetap dapat bertahan pada saat harga komoditas dunia turun. "Jika tarif royalti ditetapkan sangat tinggi di luar batas kemampuan perusahaan maka perusahaan batubara akan kesulitan menutup biaya produksi dan royalti," imbuh Hendra.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa perubahan tarif royalti dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara. Untuk batubara, penyesuaian tarif royalti dilakukan lantaran terjadi perubahan status batubara. Dari yang semula barang bukan kena pajak, sekarang menjadi barang kena pajak.
Akibatnya, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perpajakan yang sedang disusun oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), royalti Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara akan disesuaikan secara berjenjang. Artinya, akan mengikuti dinamika pasar.
"Secara keseluruhan upaya ini adalah untuk menjamin bahwa penerimaan negara meningkat, karena peningkatan penerimaan negara adalah mandat dari UU No. 3 tahun 2020 (UU Minerba)," jelas Ridwan dalam paparan realisasi kinerja Minerba 2020 dan rencana 2021 secara daring, Jumat (15/1) lalu.
Dia mengklaim, pemerintah tetap akan memperhatikan kepentingan pelaku usaha, sehingga masih dapat menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Sayangnya, Ridwan belum membeberkan bagaimana skema tarif royalti berjenjang yang sedang dibahas pemerintah.
"Saya belum dapat menyampaikan angkanya karena belum diputuskan. Namun sesuai dengan harga batubara pada kondisi tertentu. Jadi tidak berada pada satu angka saja, disesuaikan dengan dinamika pasar juga," jelasnya.
Baca Juga: Produksi PHE ONWJ bertambah 16 MMSCFD lewat proyek KLD
Selain terhadap batubara, penyesuaian royalti juga dilakukan untuk komoditas emas. Dalam paparan yang disampaikan Ridwan, ada kenaikan tarif royalti untuk harga emas di atas US$ 1.700 per ons troi."Ini juga penting, harga emas sedang naik. Kami sedang berusaha agar dengan meningkatnya harga emas, penerimaan negara dari logam mulia ini juga meningkat," sambung Ridwan.
Di sisi lain, pemerintah juga bakal mengatur PPN 0% untuk emas granule. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mengamankan rantai pasok emas di dalam negeri, dengan mengurangi ekspor emas granula dan impor emas batangan.
Kebijakan ini pun diharapkan meningkatkan daya saing industri perhiasan emas. "Sehingga pelaksana usaha kegiatan yang memanfaatkan emas granule akan mendapatkan harga yang lebih murah. Industri yang lebih hilir dapat tumbuh dengan biaya lebih kompetitif. Selama ini emas granule dikenakan pajak, kurang kompetitif bagi para pengrajin emas," pungkas Ridwan.
Menanggapi hal itu, Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno meminta agar pemerintah bisa meninjau kembali rencana tersebut. Dia meminta pemerintah berhati-hati, karena kenaikan royalti bisa memberatkan pelaku usaha.
Menurut Djoko, pada saat harga emas naik, pada umumnya perusahaan tidak menikmati kenaikan tersebut. Alasannya, pendanaan untuk konstruksi sampai operasi penambangan menggunakan hedging. Sedangkan pinjaman yang dibayar dengan hasil emas yang ditetapkan saat hedging harganya diperhitungkan oleh kreditur dikisaran US$ 1.300.
"Kelebihan harganya diambil oleh pemberi dana, sehingga kalau dinaikan royaltinya akan menyulitkan pengusaha. Menurut kami perlu didiskusikan antara pemerintah dan pengusaha agar ada pengenaan wajar atas royaltinya," terang Djoko.
Jika pemerintah memutuskan sepihak, sambungnya, dikhawatirkan akan membuat investasi pertambangan semakin rendah. Apalagi, harga komoditas saat ini masih berfluktuasi.
Djoko pun meminta agar perubahan tarif royalti tidak diberlakukan pemerintah secara sepihak dan tiba-tiba. "IMA bersedia untuk diajak berdiskusi mengenai royalti dan pajak ekspor. Kami menunggu panggilan dari pemerintah," tegasnya.
Sebagai salah satu produsen mineral terbesar, termasuk emas, PT Freeport Indonesia (PTFI) mengaku masih mempelajari perubahan tarif royalti tersebut. "PTFI masih mempelajari rencana pemerintah ini," ungkap Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama kepada Kontan.co.id, Selasa (26/1).
Sementara itu, emiten plat merah PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) mengaku bakal mengikuti ketentuan yang diberlakukan pemerintah. "Perusahaan akan memaksimalkan kegiatan operasional dan berupaya memberikan kontribusi secara positif bagi negara," kata Senior Vice President Corporate Secretary ANTM Kunto Hendrapawoko.
Selanjutnya: Begini rencana bisnis ANTM, TINS, PTBA di tahun ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News