kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,59   -9,90   -1.07%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah didesak segera menetapkan standar dan nomenklatur bahan bakar nabati


Sabtu, 14 Maret 2020 / 17:02 WIB
Pemerintah didesak segera menetapkan standar dan nomenklatur bahan bakar nabati
Sahat Sinaga (paling kiri), Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia, dalam diskusi minyak nabati di Jakarta, Jumat (13 Maret 2020).


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

Berbeda dengan biohidrokarbon yang bersifat sebagai jembatan (drop-in) sehingga dapat dicampur dengan jumlah persentase berapa saja. Contoh produk biohidrokarbon antara lain diesel biohidrokarbon yang sama  dengan solar selanjutnya gasoline biohidrokarbon yang sama  dengan bensin, dan jetfuel biohidrokarbon yang sama dengan bahan bakar sejenis berasal dari minyak bumi (fosil).

"Makanya, saya usulkan pemerintah segera membuat nomenklatur dan standar bahan bakar nabati biohidrokarbon. Dengan begitu masyarakat awam dan dunia internasional dapat memahami kebijakan biofuel Indonesia," usul Tatang Hernas.

Baca Juga: SDM Belum Berbobot, Daya Saing Indonesia Melorot

Tatang menyebutkan bahwa Indonesia telah menjadi penghasil minyak nabati terbesar di dunia dengan memiliki produksi minyak sawit yang mencapai 47,2  juta ton CPO dan 4,6 juta ton minyak inti sawit pada 2019.

Dengan begitu, Indonesia  telah menjadi penghasil biohidrokarbon terbesar di dunia. Sebagai informasi, minyak bahan bakar yang berasal dari BBN biohidrokarbon tidak perlu berangka asam rendah.

Sahat menimpali, kemampuan minyak sawit sebagai bahan bakar biofuel tidak akan mencukupi kebutuhan dalam negeri dalam 5 tahun mendatang. Karena kebutuhan minyak sawit  (CPO++  atau kini disebut IVO) untuk biohidrokarbon  di tahun 2025 diperkirakan 22 juta ton, apabila ingin mengoptimalkan bahan bakar berbasis biohidrokarbon.

Dengan program replanting bagi perkebunan  rakyat sekitar 5,2 juta Ha  sampai dengan tahun 2025, dan produktivitas tanaman petani sawit dapat meningkat dari rata-rata berkisar 15 ton TBS/ha/tahun menjadi 22 ton TBS/ha/tahun, maka kebutuhan pasar domestik diproyeksikan mencapai  69% ari total volume produksi sawit secara keseluruhan ( kini di tahun 2020 serapan minyak sawit untuk pasar lokal diperkirakan 39%). Ini berarti, volume ekspor sawit  di tahun mendatang  semakin sedikit  

Baca Juga: GIMNI: Tiga perusahaan sawit berminat menggunakan teknologi pengolah limbah sawit

"Di tahun 2025 tersebut akan terjadi tarik menarik pemakaian sawit sebagai Foods vs Energy dan solusinya  pemerintah  mulai sekarang  dan secepatnya sudah mulai menanam pohon jenis “oil-plants” yang  merupakan tanaman penghasil minyak  “triglycerida” , seperti  pohon nyamplung, kelor, ataupun mikroalga. Hal ini telah juga disampaikan oleh Menteri ESDM (Arifin Tasrif) beberapa waktu yang lalu, agar Indonesia  tidak bergantung kepada sawit sepenuhnya," jelas Sahat.

Ia pun menegaskan penggunaan bahan bakar nabati tidak bertujuan menghilangkan pemakaian bahan bakar dari minyak fosil, apalagi Indonesia masih dapat memproduksi minyak bumi sekitar 720.000 barel per hari.

"Tujuan pemakaian bahan bakar nabati itu untuk menekan defisit neraca dagang akibat impor solar. Saat ini, B20 telah dapat menghemat devisa sekitar US$ 3 miliar, "pungkas Sahat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×