kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.606.000   -1.000   -0,06%
  • USD/IDR 16.265   -85,00   -0,53%
  • IDX 7.073   -92,58   -1,29%
  • KOMPAS100 1.039   -16,65   -1,58%
  • LQ45 818   -13,93   -1,67%
  • ISSI 212   -2,57   -1,20%
  • IDX30 421   -5,97   -1,40%
  • IDXHIDIV20 506   -5,92   -1,16%
  • IDX80 118   -2,08   -1,73%
  • IDXV30 121   -1,72   -1,40%
  • IDXQ30 139   -1,80   -1,29%

Pemerintah Dikabarkan Bakal Tunda Ekspor LNG, Ini Dampaknya


Rabu, 29 Januari 2025 / 16:20 WIB
Pemerintah Dikabarkan Bakal Tunda Ekspor LNG, Ini Dampaknya
ILUSTRASI. Pemerintah Indonesia dikabarkan berencana menunda ekspor sejumlah kargo liquefied natural gas (LNG) untuk memastikan pasokan dalam negeri. ANTARA FOTO/HO/Kurnia/pd/16


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia dikabarkan berencana menunda ekspor sejumlah kargo liquefied natural gas (LNG) untuk memastikan pasokan dalam negeri yang semakin meningkat.

Mengutip laporan Bloomberg pada Jumat (24/1), sumber yang mengetahui kebijakan ini menyebut bahwa pemerintah telah meminta eksportir LNG untuk menunda pengiriman yang telah dijadwalkan tahun ini, bahkan kemungkinan hingga 2026

Sumber lain menyebut bahwa Indonesia mungkin harus menahan sekitar 50 kargo LNG agar dapat dialokasikan bagi kebutuhan domestik.

Baca Juga: Kementerian ESDM Kaji Kebijakan Impor LNG

Berdasarkan data Ship-tracking, ekspor LNG Indonesia tahun lalu mencapai 300 kargo, menjadikannya sebagai eksportir LNG terbesar keenam di dunia.

Namun, keputusan ini berpotensi memengaruhi pasokan LNG di pasar global, terlebih saat sejumlah negara seperti Mesir dan Malaysia tengah menghadapi perubahan kondisi pasokan.

Mesir, yang sebelumnya menjadi eksportir, kini justru mulai mengimpor LNG untuk menutupi produksi domestik yang menurun, sementara Malaysia tengah mempertimbangkan untuk menerima lebih banyak pengiriman LNG.

Hingga berita ini diturunkan, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, belum memberikan tanggapan saat dikonfirmasi oleh KONTAN terkait kebijakan ini.

Dampak terhadap Iklim Investasi

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai, kebijakan ini berisiko merusak iklim investasi di sektor gas Indonesia.

“Langkah ini justru akan kontraproduktif terhadap upaya menarik investasi di sektor energi,” kata Moshe kepada Kontan, Rabu (29/1).

Baca Juga: Penuhi Kebutuhan Dalam Negeri, Pemerintah Berencana Stop Ekspor Gas

Menurut Moshe, kebijakan seperti ini pernah dibicarakan sebelumnya dengan asumsi menghentikan ekspor akan menurunkan harga gas dalam negeri. Padahal, asumsi itu keliru. Indonesia bukan produsen gas besar seperti Amerika atau Qatar yang bisa fleksibel mengatur produksi. Harga gas kita ditentukan oleh ekonomi lapangan, bukan sekadar suplai dan permintaan.

Lebih dari 70% produksi gas di Indonesia, lanjut Moshe, dikelola oleh perusahaan migas internasional, bukan oleh Pertamina. Jika ekspor dihentikan dan harga gas dalam negeri ditekan, produsen bisa saja memilih untuk mengurangi produksi atau bahkan menahan investasi baru. 

“Investor selalu berpikir jangka panjang. Kalau tiba-tiba ekspor di-stop dan harga dalam negeri ditekan, mereka kehilangan opsi dan kemungkinan besar akan memilih untuk berhenti berproduksi,” ungkapnya.

Selain menghambat investasi, Moshe menilai kebijakan ini dapat berdampak serius terhadap kontrak-kontrak ekspor LNG jangka panjang yang sudah berjalan.

“BP sudah on-stream dalam trading-nya. Kalau ekspor tiba-tiba dihentikan, mereka tidak bisa memenuhi kontrak dan konsekuensinya bisa berupa penalti besar,” tambah Moshe.

Lebih lanjut, Moshe juga menilai kebijakan ini bisa merusak kredibilitas Indonesia di mata investor global.

Baca Juga: Suplai Gas Pipa Berkurang, Harga Gas Regasifikasi LNG Mahal?

“Kalau pemerintah bisa secara sepihak menyetop suplai LNG tanpa menghormati hak investor dalam production sharing contract (PSC), kepercayaan terhadap Indonesia akan menurun. Investor akan berpikir dua kali sebelum menanamkan modalnya di sini,” katanya.

Alih-alih menghentikan ekspor, Moshe menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur gas agar industri dalam negeri dapat menyerap LNG secara optimal.

Menurutnya, masalah utama bukan kekurangan pasokan gas, melainkan kurangnya infrastruktur yang mendukung distribusi dan pemanfaatan gas secara efisien.

“Kalau infrastrukturnya tersedia, industri dalam negeri bisa beralih dari LPG ke LNG, dengan harga yang lebih bersaing. Tapi kalau infrastrukturnya tidak ada, harga gas domestik tetap tinggi dan ekspor yang dihentikan pun tidak akan banyak membantu,” jelasnya.

Moshe menegaskan pasar domestik harus memiliki kepastian dalam hal permintaan, distribusi, dan harga yang kompetitif.

“Kalau permintaan ada dan infrastrukturnya tersedia, maka lapangan gas tentu akan berproduksi. Namun, tanpa infrastruktur yang memadai, kebijakan penghentian ekspor ini malah bisa menjadi bumerang,” pungkasnya.

Baca Juga: PGN (PGAS) Gandeng BUMD Papua Barat untuk Pemanfaatan LNG Tangguh

Selain dampak ekonomi dan investasi, kebijakan ini juga dinilai bisa menimbulkan konsekuensi hukum.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar menilai, kebijakan ini dapat memicu persoalan hukum, terutama karena sebagian besar kontrak ekspor LNG sudah terikat dalam perjanjian jangka panjang.

“Jika benar kebijakan ini diambil demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka ini langkah yang baik. Namun, pemerintah harus mempertimbangkan aspek bisnis dan hukum agar tidak terjadi sengketa,” jelas Bisman kepada Kontan, Rabu (29/1).

Menurut Bisman, pertumbuhan kebutuhan gas dalam negeri memang meningkat pesat seiring dengan berkembangnya industri dan peralihan energi bersih.

Bahkan, di tengah kenaikan permintaan ini, Indonesia juga tercatat mengimpor LNG dari beberapa negara.

“Daripada terus mengimpor dan kehilangan devisa, maka lebih baik gas yang ada dimanfaatkan untuk pasar domestik. Namun, caranya harus benar, tidak sekadar menyetop ekspor secara mendadak,” tambahnya.

Baca Juga: PGN Dapat Pasokan Gas 4.651 BBTU dari Blok Jabung

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya menyatakan pemerintah berencana memprioritaskan gas domestik untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri yang terus meningkat.

Pada tahun 2025, kebutuhan gas nasional diproyeksikan mencapai 1.471 BBTUD (Billion British Thermal Unit per Day) dan meningkat hingga 2.659 BBTUD pada tahun 2034. Langkah ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai kemandirian energi nasional.

“Orientasi kita sekarang harus memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kalau kebutuhan dalam negeri sudah cukup, barulah kita akan membuka peluang untuk ekspor,” tegas Bahlil.

Selanjutnya: DeepSeek Mengguncang Dunia dengan Inovasi AI Terbaru, Inilah Alasannya!

Menarik Dibaca: 11 Obat Herbal Penurun Gula Darah Alami yang Efektif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×