Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri memperhatikan tren penjualan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) yang semakin besar.
Menurutnya, semakin besar tren penjualan, maka semakin banyak orang yang terlibat dalam industri ini. “Sehingga diperlukan keterlibatan pelaku usaha dalam memberikan masukan kepada pemerintah," ujar Heri dalam keterangannya, Senin (14/9).
Namun, Heri pun mengakui bahwa ia tidak dapat mengatakan apakah tren HPTL akan terus meningkat atau malah menurun ke depannya.
Untuk itu, saran dia, perlu segera dibentuk semacam roadmap terkait industri ini. "Sehingga dapat terlihat dampaknya, mulai dari pendapatan negara dari cukai, tenaga kerja, industri, serta ekspor dan impor. Sehingga ke depannya bisa ada kebijakan yang lebih tepat," katanya.
Heri kemudian menambahkan bahwa ia mendorong pemerintah untuk melakukan kajian-kajian ilmiah secara komprehensif terkait industri HPTL ini.
Baca Juga: Prospek cukai vape sebagai instrumen pengendalian konsumsi dan penerimaan negara
Hal tersebut diperlukan sebelum pemerintah memutuskan apakah industri ini perlu di dukung atau sebaliknya.
"Harus ada pernyataan sikap dari pemerintah apakah industri ini akan dibawa ke arah sunset industry (sedikit demi sedikit dihilangkan), atau akan dibawa ke arah yang lebih maju lagi. Tentunya hal itu harus didasari oleh kajian-kajian ilmiah di sisi kesehatannya dan sisi-sisi lainnya," jelasnya.
Menurutnya, kajian-kajian ilmiah mengenai HPTL yang khusus dilakukan di Indonesia mesti terus ditingkatkan agar produk yang akan ditawarkan benar-benar bisa diterima masyarakat sebagai sebuah alternatif.
Heri mengatakan bahwa kajian mengenai HPTL sudah banyak, namun masih berasal dari kajian di luar negeri. Sementara itu, untuk kajian di Indonesia masih relatif jarang, khususnya yang dilakukan dari berbagai aspek.
“Misalnya dari aspek kesehatan. Risiko kesehatannya apakah benar lebih rendah daripada rokok konvensional, dan katanya bisa mereduksi TAR. Kalau benar tidak ada TAR nya, apakah ada risiko lain dari bahan-bahan kimianya, apakah bisa berisiko bagi kesehatan. Kita belum punya kajian mengenai hal-hal tersebut yang bersifat ajeg, yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah," ujarnya.