Reporter: Rr Dian Kusumo Hapsari | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Kebijakan pemerintah tentang open access migas di sektor hilir terus menuai pro dan kontra. Pengusaha yang berinvestasi di dalam bisnis hulu migas tersebut pun mengeluh.
Rudy D. Siregar, Wakil Ketua Komite Tetap Advokasi Hukum Kadin Indonesia menuturkan bahwa pemerintah tidak tegas dan terkesan plin-plan dalam membuat aturan-aturan kebijakan open access ini. "Jika di ibaratkan, pemerintah itu satu kakinya ada di PNG dan satunya lagi ada di Pertamina," tuturnya Selasa (29/10).
Rudy menjelaskan bahwa open access migas ini sifatnya pasar terbuka dan distribusinya gas tersebut terbuka dan tanpa kendala. "Open access ini kan maksudnya terbuka bebas dilakukan oleh siapa saja, tapi prakteknya kami masih di persulit dan dikenakan tarif oleh Badan Pengelola. Tapi saya tidak tahu Badan Pengelola tersebut dari BPH migas atau dari ESDM,"tegasnya.
Dalam prakteknya, lanjut Rudy, beberapa pengusaha yang tergabung dalam Kadin mengeluhkan bahwa ada pengenaan biaya dari BP (Badan Pengelola) untuk pendistribusian gas tersebut yang membuat harga gas menjadi mahal.
Ia menuding ada permainan dari pihak PGN (Perusahaan Gas Negara) yang ingin meraup keutungan.
"Apabila pemerintah tidak bisa mengatasi hal tersebut, maka lonjakan harga gas terus melambung. Apalagi SKK Migas berencana akan menaikkan harga dari US$5 menjadi US$10 per mmbtu," jelasnya.
Rudy berharap agar harga gas dapat diatasi dan pendistribusian gas bisa lancar, pihaknya meminta pemerintah untuk campur tangan khususnya mengawal dan memantau distribusi gas sesuai dengan Permen ESDM 2009.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News