Reporter: Amailia Putri Hasniawati |
JAKARTA. Petani tidak seharusnya menanggung beban bea keluar (BK) kakao. Kewajiban ini mestinya dipenuhi oleh eksportir. Itu sebabnya, pemerintah tengah mengkaji kembali pelaksanaan BK kakao. Jika memang petani dirugikan, maka BK akan dikaji ulang.
“BK sedang dikaji, apakah sudah berjalan dengan tepat. Kalau tidak mengganggu harga di petani kita teruskan. Tetapi kalau mengganggu, kita akan kaji lebih lanjut,” kata Menteri Pertanian Suswono, akhir pekan lalu. Ia menegaskan, pihaknya akan mengkaji dalam satu hingga dua bulan ke depan.
Suswono juga menyayangkan sikap para eksportir yang malah membebankan BK kakao kepada petani. Padahal, awalnya BK didesain agar eksportir tergerak untuk membeli biji kakao fermentasi; sehingga juga mendorong petani juga mau melakukan fermentasi terlebih dahulu sebelum dijual.
Jika beleid ini berjalan mulus, eksportir akan diuntungkan dan pasokan bahan baku untuk industri dalam negeri pun aman. Maklum, selama ini kalangan industri merasa kekurangan bahan baku karena produksi kakao fermentasi di dalam negeri sangat minim. Sekitar 80% produksi kakao Indonesia adalah non fermentasi, sehingga industri terpaksa mengimpor kakao fermentasi yang rata-rata setiap tahunnya sekitar 300.000 ton. Harga kakao pun lama kelamaan melambung, dan kakao fermentasi impor pun semakin mahal, hal itu yang membuat sejumlah industri tidak kembali beroperasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News