kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemerintah Pusat Dinilai Belum Maksimal Libatkan Pemda Dalam Agenda JETP


Rabu, 19 Juli 2023 / 18:13 WIB
Pemerintah Pusat Dinilai Belum Maksimal Libatkan Pemda Dalam Agenda JETP
ILUSTRASI. CEO PT Maharaksa Biru Energi Tbk Bobby Gafur Umar (kanan) bersama Direktur PT Mentari Biru Energi Widi Pancono (tengah) mengecek wood chip yang disuplai ke PLTU Air Anyir, Bangka, Bangka Belitung, Senin (10/7/2023).


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah pusat belum maksimal melibatkan pemerintah daerah (pemda) dalam agenda pendanaan transisi energi alias Just Energy Transition Partnership (JETP). Hal ini menjadi simpulan dalam hasil studi bersama CELIOS dengan Yayasan Indonesia CERAH yang diluncurkan pada 18 Juli 2023.

Peneliti CELIOS, Muhammad Saleh, mengatakan bahwa sebagian besar Pemda yang menjadi objek penelitian belum tahu dan tidak dilibatkan dalam kebijakan transisi energi JETP. 

Kerangka regulasi yang ada, yakni Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintah Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada Subbidang Energi Baru Terbarukan, menurutnya belum menjawab kebutuhan transisi energi dan belum melibatkan pemda secara aktif.

Baca Juga: Pelaku Usaha Sebut Sejumlah Tantangan Kembangkan Pembangkit Hijau di Indonesia

“Riset ini menguji regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat yang katanya sudah melibatkan pemda, buktinya belum. Misalkan JETP, itu ternyata belum melibatkan daerah. Buktinya apa, daerah belum tahu keberadaan JETP,” ujar Saleh dalam acara peluncuran hasil studi, Selasa (18/7).

“Dan buktinya juga ternyata kewenangan yang dirumuskan dalam Perpres 11 Tahun 2023 itu tidak secara utuh melibatkan pemerintah daerah,” imbuhnya lagi.

Studi bersama CELIOS dan Yayasan Indonesia CERAH dilakukan di 3 provinsi yakni Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur dan 3 kabupaten di Langkat, Cilacap dan Probolinggo. Temuan yang diperoleh dalam studi ini ada beberapa.

Pertama, mayoritas pemda yang menjadi responden belum tahu keberadaan Perpres No 11/2023. Kedua, hingga kini pemda belum punya kerangka regulasi pelaksana Perpres No 11/2023. Ketiga, pemda menyatakan bahwa Perpres No 11/2023 belum menjawab kebutuhan transisi energi. 

Keempat, Pemda menyatakan, saat ini belum memberi jaminan perlindungan materiil kepada masyarakat pasca penutupan PLTU. Seperti diketahui, pensiun dini PLTU menjadi bagian dari agenda JETP.

Peneliti CELIOS, Muhammad Andri Perdana, mengatakan bahwa keterlibatan pemda dalam agenda JETP dalam memitigasi dampak ekonomi yang timbul dari program tersebut, seperti misalnya tekanan pada sektor tenaga kerja.

Baca Juga: Pemanfaatan EBT Indonesia Masih Minim, Kementerian ESDM Beberkan Tantangannya

“(Bentuk mitigasi dampak ekonomi oleh pemda) Misalnya dengan adanya keterlibatan pemda untuk perencanaan upskilling tenaga kerja yang terdampak, (sehingga) tidak ada lagi gejolak-gejolak dari tenaga kerja terdampak,” kata Andri.

Potensi dampak ekonomi lainnya yang menurut Andri perul dimitigasi lewat pelibatan pemda misalnya penurunan pendapatan asli daerah (PAD). 

Catatan saja, menurut studi CELIOS dan Yayasan Indonesia CERAH, pemensiunan dini PLTU berpotensi menghilangkan PAD  sekitar 1,2% hingga 6,4% dari keseluruhan PAD di suatu Kabupaten, tergantung besarnya kapasitas PLTU batubara di masing-masing daerah. 

“Potential loss PAD ini dapat dimitigasi dengan melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat atas kenaikan nilai Dana Transfer ke Daerah serta mendorong komitmen investasi energi bersih sebagai pengganti sumber penghasilan daerah yang hilang,” terang Andri.

Ad Interim Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, menuturkan bahwa temuan riset ini sangat penting karena menunjukan terdapat sejumlah celah yang harus segera dibenahi oleh pengambil kebijakan, mulai dari aspek perencanaan, penguatan regulasi dan implementasi skema JETP yang berhubungan langsung dengan daerah. 

Baca Juga: Intip Sejumlah Masukan Perbankan Terkait Revisit Taksonomi Hijau Indonesia

“Strategi perencanaan dan mitigasi atas dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang ada di daerah penting dilakukan agar proses transisi benar-benar dapat mengimplementasikan nilai yang berkeadilan,” terang Agung. 

Deputi Transisi Energi Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi terbarukan, Muhammad Sani mengakui, kewenangan yang diberikan kepada pemda dalam transisi energi memang belum maksimal.

“Daerah belum siap karena memang disetting seperti itu, memang tidak diberi kewenangan (yang cukup). Jadi jangan ditanya daerah tentang bagaimana menyiapkan transisi energi, tapi kita pertanyakan dulu pengaturan, apakah kita sudah memberikan (kewenangan) ini ke daerah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ia juga mengusulkan agar sebagian dana JETP bisa dialokasikan untuk membiayai pendidikan di bidang energi terbarukan lewat pemda.

“Saya ingin menyampaikan tawaran atau sinergi untuk pendanaan dari JETP ini untuk pendidikan di bidang energi. Nanti pola kerja samanya atau apa yang harus dilakukan kita bisa berkoordinasi lebih lanjut dan tentu juga akan melibatkan dinas-dinas tenaga kerja maupun dinas ESDM di daerah,” kata Sani. 

Rekomendasi kebijakan

Berdasarkan studi yang dilakukan, Perpres Nomor 11 Tahun 2023 mestinya juga merumuskan norma soal sub urusan EBT yang akan dibagi, misalnya seputar perumusan kebijakan, pengembanan, dukungan pusat, dan perizinan.

Selain itu, perpres ini semestinya juga mengatur seputar koordinasi pelaksanaan kewenangan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan. Atas temuan ini, studi  CELIOS dan Yayasan Indonesia CERAH mengusulkan beberapa rekomendasi.

Baca Juga: Komitmen Partisipan Kemitraan Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF)

Pertama, Kemenko Marves dan Kementerian ESDM perlu mendorong model transisi energi berkeadilan yang melibatkan pemerintah daerah secara aktif, baik dalam menyusun regulasi di level undang-undang maupun rencana teknis dalam bentuk Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP. 

Kedua, isi Perpres No 11/2023 perlu ditinjau kembali agar dapat menjawab kebutuhan transisi energi di daerah, dan selanjutnya, pemda secepatnya menyediakan regulasi pelaksanaan Perpres No 11/2023. 

Ketiga, kerangka transisi pada level pusat diwujudkan dalam lima pengaturan tata kelola untuk: (a) penilaian dampak; (b) pengembangan keterampilan; (c) kebijakan perlindungan sosial; (d) dialog sosial; (e) inovasi dan teknologi. 

Keempat, dalam menjalankan kebijakan transisi berkeadilan, Indonesia perlu segera menyediakan RUU Perubahan Iklim untuk menyempurnakan ragam regulasi yang selama ini bersifat sektoral.

Kelima, Kementerian Ketenagakerjaan perlu membentuk program khusus terkait reskilling dan upskilling pekerja yang terdampak transisi energi. 

Keenam, Sekretariat JETP perlu memperluas pemahaman dan sosialisasi kebijakan transisi energi serta melibatkan pemda dalam merumuskan kebijakan terkait rencana pendanaan JETP. 

Ketujuh, dalam memitigasi dampak pada sektor tenaga kerja akibat pensiun dini PLTU, pemerintah daerah dapat meminta jaminan pendanaan untuk program redeployment, reskilling, upskilling, retraining, dukungan relokasi pekerja, serta dukungan penempatan tenaga kerja di daerah terdampak.

Baca Juga: Moeldoko: Penjualan Mobil Konvensional Sudah Tidak Ada Lagi di 2050

Seperti diketahui, Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan sebesar US$ 20 miliar lewat skema JETP. Kalau tidak ada aral melintang, peluncuran rencana tindak lanjut pendanaan ini dijadwalkan pada 16 Agustus 2023 mendatang. 

Dari komitmen pendanaan sebesar US$ 20 miliar tersebut, sebanyak US$ 160 juta atau Rp 2,4 triliun (Kurs Rp 15.000/USD) merupakan dana hibah, lalu sekitar US$ 160 juta merupakan dana bantuan teknis (technical assistance/TA), dan US$ 10 miliar atau Rp 150 triliun merupakan pinjaman komersial. 

Nantinya, dana tersebut akan mendanai sejumlah proyek transisi energi di Tanah Air berupa pemensiunan pembangkit batubara (PLTU), Energi Baru Terbarukan (EBT), peningkatan efisiensi energi, elektrifikasi, dan transmisi. Seluruh program tersebut akan tertuang dalam Comprehensive Investment Plan (CIP) yang akan segera diumumkan Agustus 2023 mendatang.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana mengatakan bahwa komitmen pendanaan JETP kan berjalan secara langsung dengan masing-masing negara yang memberi dukungan.

“Itu semuanya adalah komitmen, prosesnya nanti akan berjalan secara langsung dengan masing-masing negara yang mensupport. Untuk hibah, beberapa kegiatan sudah berjalan, misalkan yang dengan Jerman, AS, Inggris dan juga Jepang,” kata Dadan kepada Kontan.co.id, Selasa (18/7).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×