Reporter: Muhammad Julian | Editor: Noverius Laoli
Lebih lanjut, Ia juga mengusulkan agar sebagian dana JETP bisa dialokasikan untuk membiayai pendidikan di bidang energi terbarukan lewat pemda.
“Saya ingin menyampaikan tawaran atau sinergi untuk pendanaan dari JETP ini untuk pendidikan di bidang energi. Nanti pola kerja samanya atau apa yang harus dilakukan kita bisa berkoordinasi lebih lanjut dan tentu juga akan melibatkan dinas-dinas tenaga kerja maupun dinas ESDM di daerah,” kata Sani.
Rekomendasi kebijakan
Berdasarkan studi yang dilakukan, Perpres Nomor 11 Tahun 2023 mestinya juga merumuskan norma soal sub urusan EBT yang akan dibagi, misalnya seputar perumusan kebijakan, pengembanan, dukungan pusat, dan perizinan.
Selain itu, perpres ini semestinya juga mengatur seputar koordinasi pelaksanaan kewenangan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan. Atas temuan ini, studi CELIOS dan Yayasan Indonesia CERAH mengusulkan beberapa rekomendasi.
Baca Juga: Komitmen Partisipan Kemitraan Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity (IPEF)
Pertama, Kemenko Marves dan Kementerian ESDM perlu mendorong model transisi energi berkeadilan yang melibatkan pemerintah daerah secara aktif, baik dalam menyusun regulasi di level undang-undang maupun rencana teknis dalam bentuk Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP.
Kedua, isi Perpres No 11/2023 perlu ditinjau kembali agar dapat menjawab kebutuhan transisi energi di daerah, dan selanjutnya, pemda secepatnya menyediakan regulasi pelaksanaan Perpres No 11/2023.
Ketiga, kerangka transisi pada level pusat diwujudkan dalam lima pengaturan tata kelola untuk: (a) penilaian dampak; (b) pengembangan keterampilan; (c) kebijakan perlindungan sosial; (d) dialog sosial; (e) inovasi dan teknologi.
Keempat, dalam menjalankan kebijakan transisi berkeadilan, Indonesia perlu segera menyediakan RUU Perubahan Iklim untuk menyempurnakan ragam regulasi yang selama ini bersifat sektoral.
Kelima, Kementerian Ketenagakerjaan perlu membentuk program khusus terkait reskilling dan upskilling pekerja yang terdampak transisi energi.
Keenam, Sekretariat JETP perlu memperluas pemahaman dan sosialisasi kebijakan transisi energi serta melibatkan pemda dalam merumuskan kebijakan terkait rencana pendanaan JETP.
Ketujuh, dalam memitigasi dampak pada sektor tenaga kerja akibat pensiun dini PLTU, pemerintah daerah dapat meminta jaminan pendanaan untuk program redeployment, reskilling, upskilling, retraining, dukungan relokasi pekerja, serta dukungan penempatan tenaga kerja di daerah terdampak.
Baca Juga: Moeldoko: Penjualan Mobil Konvensional Sudah Tidak Ada Lagi di 2050
Seperti diketahui, Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan sebesar US$ 20 miliar lewat skema JETP. Kalau tidak ada aral melintang, peluncuran rencana tindak lanjut pendanaan ini dijadwalkan pada 16 Agustus 2023 mendatang.
Dari komitmen pendanaan sebesar US$ 20 miliar tersebut, sebanyak US$ 160 juta atau Rp 2,4 triliun (Kurs Rp 15.000/USD) merupakan dana hibah, lalu sekitar US$ 160 juta merupakan dana bantuan teknis (technical assistance/TA), dan US$ 10 miliar atau Rp 150 triliun merupakan pinjaman komersial.
Nantinya, dana tersebut akan mendanai sejumlah proyek transisi energi di Tanah Air berupa pemensiunan pembangkit batubara (PLTU), Energi Baru Terbarukan (EBT), peningkatan efisiensi energi, elektrifikasi, dan transmisi. Seluruh program tersebut akan tertuang dalam Comprehensive Investment Plan (CIP) yang akan segera diumumkan Agustus 2023 mendatang.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana mengatakan bahwa komitmen pendanaan JETP kan berjalan secara langsung dengan masing-masing negara yang memberi dukungan.
“Itu semuanya adalah komitmen, prosesnya nanti akan berjalan secara langsung dengan masing-masing negara yang mensupport. Untuk hibah, beberapa kegiatan sudah berjalan, misalkan yang dengan Jerman, AS, Inggris dan juga Jepang,” kata Dadan kepada Kontan.co.id, Selasa (18/7).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News