Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah masih mengkalkulasikan besaran pajak ekspor untuk Ferronickel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI). Namun pengenaan pajak bagi dua produk turunan nikel ini tidak terburu-buru lantaran menunggu titik seimbang antara volume penjualan nikel dan harganya yang kembali menguat.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, besaran pajak ekspor nikel masih sedang disiapkan. Proses ini masih terus berjalan karena pemerintah masih mencari semua titik keseimbangan antara volume ekspor dengan harga nikel.
“Jadi kemarin mungkin kita agak cepat memberikan (pengumuman pajak ekspor) karena melihat harganya bagus ya, sekarang volume produksinya terlalu tinggi jadi harganya turun. Jadi kita mau bawa ekuilibriumnya, lagi dihitung dengan cermat,” jelasnya saat ditemui di Hotel Westin, Jakarta, Selasa (9/5).
Baca Juga: Insentif Pajak Akan Dipangkas, Saham Emiten Nikel Amblas
Sebagai strategi untuk menahan laju pembangunan smelter nikel yang memproduksi NPI dan FeNi, Luhut bilang, pemerintah tidak akan memberikan izin lagi kecuali perusahaan tersebut berkomitmen menggunakan energi bersih (clean energy). Dia bilang untuk menerapkan energi bersih di smelter tentu membutuhkan usaha dan investasi yang lebih besar.
Saat ini pemerintah juga tengah merumuskan pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai basis transaksi jual-beli nikel di pasar dalam negeri.
“Pemerintah sedang berfikir untuk punya tempat sendiri supaya bisa mengatur harga itu. Kita juga ingin atur harga sendiri, masa London Metal Exchange (LME) yang mengatur harga nikel kita,” terangnya.
Adapun hal yang kurang lebih senada juga dikatakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Plt Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Rida Mulyana mengatakan, sepengetahuannya tiap bulan Kementerian ESDM menentukan Harga Mineral Acuan (HMA) yang mengacu pada tren rata-rata harga nikel di LME.
“Kalau nikel kan ke pasar, seperti London Metal Exchange gitu, kita tidak punya indeks sendiri. Jadi selama ini LME dijadikan acuan untuk membuat HMA,” ujarnya saat ditemui di lokasi yang sama.
Namun, perihal perumusan indeks nikel khusus di dalam negeri Rida belum bisa memberikan keterangan lebih jauh.
Sebelumnya dari sisi pelaku usaha, Direktur Operasional PT PAM Mineral Tbk (NICL), Roni Permadi Kusumah menyampaikan bahwa saat ini pelaku usaha di sektor nikel termasuk sejumlah asosiasi, menyuarakan aspirasi regulasi Harga Patokan Mineral (HPM) kadar rendah.
Baca Juga: Pajak Ekspor Feronikel dan NPI, Industri Smelter Minta Pemerintah Identifikasi Awal
“Ini kami sangat tunggu sehingga perumusan (harga) nikel ke depan memperhatikan kandungan mineralnya daripada nikel dan mineral turunan lainnya. Ini menjadi salah satu relevansi kami menentukan harga ke depannya,” jelasnya dalam paparan publik secara virtual, Rabu (3/5).
Roni memaparkan, sampai dengan Maret 2023, berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM) dari HMA, nikel dengan Moisture Content (MC) 35% diperkirakan senilai US$ 49,26 wet metric ton (Wmt). Sedangan untuk harga produk nikel Lot 2 Ni 1.3-1.49% Fe > 30% dan bijih nikel kadar rendah atau Lot 3 Ni 1.2-1.3% harganya masih ditentukan antara pihak penambang dan pembeli (smelter).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News