Sumber: Kontan | Editor: Test Test
PANGKALPINANG. Kapal jenis tank boat yang ditumpangi KONTAN Kamis (18/2) lalu melaju menuju ke kapal hisap milik PT Timah Tbk di Laut Permis, Selat Bangka. Perjalanan dari Sungai Liat ke kapal hisap yang jaraknya sekitar mil itu ditempuh dalam waktu satu jam.
Dalam perjalanan tersebut, terlihat sejumlah kapal keruk milik PT Timah maupun perusahaan Thailand yang merupakan mitra PT Timah. Ratusan kapal kecil menyemut mengerubungi kapal keruk itu. Itulah kapal-kapal para penambang ilegal atau tambang inkonvensional (TI) apung. Kapal keruk seolah menjadi tanda lokasi cadangan timah berada.
Setiap kapal kecil mengangkut 3 - 5 orang penyelam. Mereka menyelam selama 2 jam di kedalaman 40 meter untuk mengeduk timah. Peralatan yang mereka gunakan pun tidak secanggih PT Timah hanya kompresor dan selang kecil.
Juhoi adalah salah satu penyelam dari kapal-kapal kecil itu. Laki-laki berusia 25 tahun itu meninggalkan Sulawesi Tenggara 3 tahun silam dan memilih menjadi penyelam di Bangka lantaran mendengar di pulau tersebut banyak timah yang bisa diambil. "Satu minggu saya cuma menyelam selama 4 hari, mulai pukul 10.00 hingga 15.00 WIB," kata Juhoi. Walaupun cukup berbahaya, ia harus melakukan pekerjaan itu untuk menghidupi istri dan kedua anaknya.
Saat ditemui KONTAN, ia baru saja menyelam dan akan menyerahkan hasil bijih timah tersebut kepada collector, sebutan bagi pembeli timah TI apung. Hari itu, Juhoi berhasil mengangkat 50 kg timah. Jumlah ini tak selalu sama setiap harinya, tergantung pada cuaca. Sehari sebelumnya, ia hanya bisa mengeduk 35 kg.
Dengan harga jual Rp 60.000 per kg, Juhoi menerima Rp 3 juta. Namun, pendapatan itu tak semuanya bisa dia bawa pulang karena ada potongan cicilan utang pembelian kapal kepada collector. Kapal yang ia gunakan adalah hasil pinjaman dari collector yang sebesar Rp 35 juta.
Sementara itu Rozali memilih menjadi pengemudi kapal kecil ketimbang penyelam. Ia menyebut, banyak penyelam yang meninggal maupun tuli. "Mereka menyelam selama dua jam kemudian naik ke kapal menghabiskan dua batang rokok dan menyelam kembali," kata Rozali. Menurut dia, pendapatan minimal penyelam Rp 400.000 per hari, dan maksimal Rp 7 juta - Rp 8 juta per minggu.
Aparat setempat tidak bisa berbuat apapun terhadap ulah TI apung. Tetapi konon PT Timah juga ikut membeli timah ilegal tersebut karena harganya lebih murah. "PT Timah tidak harus membayar asuransi ataupun upah," kata sumber KONTAN.
Namun, Sekretaris Perusahaan PT Timah, Abrun Abubakar menyanggah hal tersebut. Hanya, ia mengaku, selain menambang sendiri memang Timah membeli dari mitra. "Mungkin ada mitra yang nakal," kata dia.
Kepala Kapal KIP Timah V, Sumaedi Sahanan mengatakan, keberadaan TI apung jelas mengganggu operasi PT Timah. Ia menghitung, tak kurang dari 500 penambang ilegal yang masing-masing bisa mengeruk 100 sekitar kg timah per hari.
Para pengusaha pertambangan timah sering mengeluhkan kegiatan penambangan ilegal tersebut. Alasannya, karena kegiatan tersebut seringkali merugikan para pemilik Kuasa Pertambangan (KP). Maka, untuk mengamankan tambang yang di darat , PT Timah Tbk membuat parit dan pagar di sekitar area penambangan. Tapi cara itu sulit diterapkan di laut. Penjagaan lokasi tambah di laut jauh lebih sulit dilakukan.
Oleh sebab itu, PT Timah bekerjasama dengan Angkatan Laut dan Kepolisian untuk menghadapi para penambang liar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News