kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.443.000   4.000   0,28%
  • USD/IDR 15.405   0,00   0,00%
  • IDX 7.812   13,98   0,18%
  • KOMPAS100 1.184   -0,59   -0,05%
  • LQ45 959   0,88   0,09%
  • ISSI 227   0,13   0,06%
  • IDX30 489   0,88   0,18%
  • IDXHIDIV20 590   1,24   0,21%
  • IDX80 134   -0,05   -0,04%
  • IDXV30 139   -1,25   -0,90%
  • IDXQ30 163   0,24   0,15%

Penerapan CCS di PLTU Akan Meningkatkan Biaya Pembangkitan


Minggu, 26 Maret 2023 / 12:38 WIB
Penerapan CCS di PLTU Akan Meningkatkan Biaya Pembangkitan
ILUSTRASI. Suasana bongkar muat batubara untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (12/2/2022).


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai penggunaan carbon capture storage (CCS) pada PLTU batubara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) justru akan meningkatkan biaya pembangkit rata-rata atau levelized cost of electricity (LCOE). 

Sebagai informasi, LCOE adalah parameter penting pada industri utilitas untuk mengetahui besarnya biaya listrik yang dihasilkan oleh sebuah pembangkit. Nilai LCOE yang relatif rendah menunjukkan listrik atau energi yang dihasilkan dari pembangkit tersebut biayanya lebih rendah sehingga dapat memberikan keuntungan besar bagi investor. 

Manager Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo menyatakan inisiatif untuk menggunakan CCS pada PLTU batubara seharusnya tidak menjadi pilihan lagi karena dua alasan. Pertama, belum ada implementasi CCS ke PLTU batubara yang sukses mencapai target pengurangan emisinya. Kedua, LCOE dari PLTU batubara dengan CCS akan meningkat sampai setidaknya dua kali lipat atau lebih besar dari US$ 0,10 per kWh.

“Ini setara dengan memberlakukan carbon tax sekitar US$ 50 per ton CO2e ke seluruh emisi PLTU batubara. Semua energi terbarukan sudah jauh lebih kompetitif dan terbukti (proven) untuk menghasilkan listrik tanpa emisi GRK,” kata Deon dalam webinar, Jumat (24/3). 

Baca Juga: IESR Luncurkan Perangkat Simulasi Untuk Hitung Biaya Pembangkit Energi

Sedangkan, menurut analisis IESR harga pembangkit energi terbarukan semakin menurun dan kompetitif. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berskala menengah memiliki biaya LCOE yang paling rendah yakni sebesar US$ 0,041 per kWh. Di posisi kedua dan ketiga terendah secara berturut adalah Pembangkit Listrik Mini/Mikro Hidro (PLMTH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) senilai US$ 0,049 per kWh dan US$ 0,058 per kWh. 

Namun penghitungan biaya pembangkitan ini tidak memasukkan biaya penggunaan lahan dan biaya persiapan proyek, sehingga akan ada kemungkinan peningkatan LCOE setidaknya 6% untuk PLTA skala menengah, dan 18% untuk PLTS skala utilitas.

Agar pengembangan energi terbarukan berlangsung secara adil, IESR merekomendasikan pemerintah dan perusahaan utilitas seperti PLN untuk mempercepat pengakhiran operasional PLTU batubara, serta memberikan insentif kepada pengembangan energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi, serta secara bertahap menghapuskan ketentuan DMO batubara di 2025. Pengembangan energi terbarukan akan menciptakan berbagai peluang ekonomi yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Baca Juga: Menguji Taji Subsidi Kendaraan Listrik Dua Tahun Vs Target Zero Emisi

EVP Aneka Energi Baru Terbarukan (EVP MEB) PT PLN, Cita Dewi menjelaskan, perihal penerapan CCS karena teknologinya masih sangat baru, saat ini PLN masih melakukan tahap studi dengan perguruan tinggi dan pengembang (developer) untuk wacana pilot project CCS di 2030 mendatang. 

“CCS adalah salah satu opsi yang diambil PLN dalam rangka dekarbonisasi terlepas dari program lainnya seperti pengembangan EBT dan co-firing,” jelasnya dalam kesempatan yang sama. 

Meski co-firing tidak sebersih pembangkit energi terbarukan lainnya, ada sejumlah pertimbangan yang dimiliki PLN menerapkan teknologi ini. 

Cita menjelaskan, penurunan emisi juga harus melihat kondisi existing PLN saat ini yang sudah memberikan dampak komersial pada Perusahaan. Misalnya saja, PLN telah melakukan kontrak jangka panjang dengan investor-investor baik itu untuk pembangkit fosil maupun EBT. 

Baca Juga: Ramai-Ramai Mencuil Peluang Bisnis di Energi Baru Terbarukan

Saat ini kapasitas PLTU yang beroperasi di Indonesia baik itu PLN dan IPP hampir 54% dan ini belum termasuk pembangkit batubara yang akan beroperasi komersial dalam waktu dekat. Maka itu, kebijakan dekarbonisasi PLN harus melihat kondisi terkini, yakni tetap menurunkan emisi tetapi juga mengutilisasi atau mengoptimalkan pembangkit existing yang ada. Lewat cara ini, PLN juga dapat meningkatkan bauran energi terbarukan. 

Cita mengungkapkan, saat ini produksi energi hijau dari co-firing sudah diimpelmentasikan di 47 lokasi. Rencananya, PLN akan melakukan co-firing di 52 lokasi PLN. Adapun pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan terus diuji coba. 

“Pada akhir tahun lalu (implementasi co-firing) sebesar 590 GWh. Ini sudah memberikan kontribusi emisi hampir 500.000 ton CO2,” pungkas Cita. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management Principles (SCMP) Mastering Management and Strategic Leadership (MiniMBA 2024)

[X]
×