Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
Kementerian ESDM mengakui bahwa kebijakan lembaga pungut-salur iuran batubara sebelumnya terganjal masalah PPN. Namun belakangan sudah ada solusinya.
Meski sudah ada solusinya, rampungnya MIP batubara ini masih menimbulkan tanda tanya perihal kepastian pelaksanannya dan skema pungutan iuran sebagai kewajiban bagi pelaku usaha.
Bhima Yudhistira, Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) menjelaskan, inkonsistensi kebijakan energi sejatinya bermula dari faktor politis. Khawatir dengan pembatasan yang terlalu ketat, mislanya pembelian Pertalite, akan menimbulkan gejolak politk dan ketidakpuasan di tengah masyarakat.
“Dan ini tentu akan berpengaruh pada keberhasilan Pemilu atau kandidat tertentu,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (7/5).
Sedikit kilas balik, di tahun politik seperti di 2014 dan 2019, banyak kebijakan-kebijakan yang sebenarnya kurang populer, tetapi perlu dilakukan langkah atau eksekusi yang tegas, tetapi pelaksanannya harus mundur karena menimbang efek politik.
“Jadi banyak kebijakan yang akhirnya berumur pendek diwacanakan habis itu hilang,” ujarnya.
Baca Juga: Begini Peran Industri Hulu Migas dalam Pemenuhan Kebutuhan Energi dan Petrokimia
Selain faktor politik, lanjut Bhima, keberanian mengambil keputusan juga berkuang karena menunggu harga komoditas mengalami penurunan supaya masyarakat tidak terlalu kaget ketika terjadi pembatasan pembelian.
Namun, Bhima mengakui cukup bingung pembatasan Pertalite tidak kunjung dilaksanakan padahal harga minyak mentah sudah turun 34% dibandingkan setahun yang lalu. Dia melihat, saat ini harga minyak mentah sudah mencapai US$ 71 per barel.
“Jadi mau nunggu apa lagi? Atau kalau nunggu momentum tetapi ini juga tidak kunjung dilakukan pemerintah. ini yang jadi pertanyaan apa, apakah inflasi harus menuggu 3% dulu baru dilakukan pembatasan Pertalite? jadi indikator momentum apa, faktor apa yang jadi pertimbangan jadi tidak jelas,” tegasnya.
Tidak hanya di bidang hilir migas, kebijakan maju-mundur di sektor batubara dan mineral juga kerap menggantung. Bhima menilai, banyaknya ketidakpastian kebijakan yang kemudian berumur pendek ini, membuat daya saing investasi rendah di Indonesia.
Bahkan persoalan ketidakpastian kebijakan ini, masuk ke dalam salah satu dari 5 masalah utama investasi di Indonesia. Alhasil investor jadi ragu masuk untuk menanamkan modalnya di dalam negeri.
Hal yang sama juga disampaikan pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, faktor politik lebih dominan dalam pengambilan kebijakan sektor energi.
“Jika misalnya dilakukan pembatasan BBM Subsidi, akan menimbulkan implikasi sosial politik yang besar. Jadi pertimbangan ekonomi justru lebih sedikit,” ujarnya saat dihubungi terpisah.